jurnasMahasiswa Program S2 Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung (SBM ITB), Ferry Dzulkifli, berbagi opini terkait kewirausahaan. Artikelnya dimuat di Harian Jurnal Nasional Edisi Selasa 11 Mei 2010. Berikut petikannya:

Perlunya Kebijakan Kewirausahaan
Ferry Dzulkifli

Indonesia menjadi salah satu dari 40 negara yang diundang pada KTT Kewirausahaan yang akan diselenggarakan pada tanggal 26-27 April 2010 ini di Washington DC (Kompas, 19/04/2010). KTT ini menandakan bahwa kewirausahaan telah mendapat perhatian besar terutama pascakrisis ekonomi akhir-akhir ini. Kewirausahaan dipandang sebagai aspek penting dalam dinamika ekonomi, di mana di saat krisis ia dapat muncul menjadi pemicu perubahan bisnis sebagai salah satu ciri-ciri apa yang disebut kerusakan kreatif (creative destruction). Kondisi yang terjadi dalam krisis menandai wirausaha yang kurang efisien akan gagal sementara mereka yang lebih efisien akan muncul dan berkembang. Model bisnis dan teknologi baru, khususnya yang menciptakan pengurangan biaya, seringkali muncul dalam situasi terpuruk.

Sebelumnya dalam pidatonya pada acara “National Summit”, akhir tahun lalu, Presiden SBY menjelasakan bahwa kewirausahan menjadi salah satu kunci yang diperlukan dalam mencapai tujuan program yang disebutnya pro-growth (pertumbuhan), pro-job (lapangan kerja), dan pro-poor (pengurangan kemiskinan). Sedemikian pentingnya kewirausahaan, Porter (1990) menyebutkan bahwa kewirausahaan berada pada jantung keunggulan nasional. Sementara Zoltan Acs dkk (2008) menambahkan bahwa kewirausahaan sekarang ini menjadi pusat (jawaban) dari berbagai pertanyaan mengenai kebijakan yang terkait dengan ilmu dan teknologi, keberlanjutan, kemiskinan, sumber daya manusia, penyerapan tenaga kerja, dan keunggulan komparatif regional.

Pembangunan Ekonomi
Para wirausaha memiliki peran utama dalam pembangunan ekonomi. Mereka sebagai seorang individu maupun melalui perusahaannya telah berbuat sesuatu yang inovatif dan secara kreatif membongkar struktur pasar yang ada. Di samping itu mereka juga memberikan kontribusi dalam penciptaan lapangan kerja, peningkatan produktivitas dan daya saing, serta melakukan pembentukan industri baru.

Pentingnya kewirausahaan di negara berkembang dijelaskan oleh Sameekha Desai (2009) bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat antara penciptaan wirausahawan dengan pembangunan ekonomi di negara-negara tersebut, di mana di negara maju kewirausahaan bahkan telah menghasilkan kemakmuran. Dalam beberapa tahun terkahir, beberapa pakar telah mengenalkan upaya untuk mengatasi kesenjangan kapasitas kewirausahaan dalam inovasi dan pertumbuhan serta kontribusinya pada kemakmuran dan kesejahteraan ekonomi.

Menurut hasil penelitian seorang ilmuwan Amerika Serikat (AS), David McClelland, suatu negara dapat dikatakan makmur, minimal harus memiliki jumlah wirausahawan sebanyak dua persen dari jumlah populasi penduduknya. Di Indonesia saat ini jumlah pelaku usaha di mencapai lebih dari 40 juta unit usaha atau sekitar 17 persen dari total populasi. Namun, jumlah ini belum selaras dengan peran kewirausahaan yang sesungguhnya. Hal ini dikarenakan sebagian besar usaha mereka menurut Rhenald Kasali (2010) adalah usaha yang dikelola secara asal-asalan, sekadar bisa menghidupi, dan sangat informal.

Berdasarkan keikutserataan Indonesia dalam survey Global Entrepreneurship Monitor (GEM) tahun 2006, jumlah wirausaha di Indonesia adalah sebesar 19,3 % dari jumlah total penduduk dewasa. Namun dalam kurva-U Total Entrepreneurial Activity (TEA) Index dalam survey tersebut, Indonesia di posisikan sebagai negara dengan kondisi jumlah wirausaha yang besar namun dengan pendapatan perkapita tergolong kecil. Dalam laporan GEM juga disebutkan bahwa kewirausahan pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam kewirausahaan atas dasar merespon peluang (opportunity entrepreneurship) dan kewirausahaan yang didasarkan atas kebutuhan untuk hidup (necessity entrepreneurship).

Memperhatikan kondisi tersebut, maka dapat diduga bahwa sebagian besar wirausaha kita adalah mereka yang tergolong sebagai necessity entrepreneurship. Oleh karenanya, diperlukan adanya kebijakan maupun iklim yang dapat mendorong kesempatan berusaha bagi setiap orang yang merintis usaha.

Kebijakan Kewirausahaan
Berbagai pakar dan peneliti menyebutkan guna merespon kebutuhan iklim yang lebih baik untuk menumbuhkan kewirusahaan diperlukan apa yang disebut entrepeneurship policy, entrepreneurial policy ataupun entrepreneurial economy. Dijelaskan oleh Roy Thurik (2009) bahwa entrepreneurial economy merupakan model yang tepat untuk menerangkan peran kewirausahaan kontemporer baik di negara maju maupun negara yang sedang bangkit ekonominya. Di dalam model ekonomi ini seluruh kebijakan yang merespon pembangunan ekonomi didominasi oleh pengetahuan sebagai faktor produksi dari modal kewirausahaan atau kapasitas untuk melibatkan dan menggerakkan kegiatan kewirausahaan.

Rhenald Kasali (2010) menjelaskan bahwa entrepreneurial economy adalah suatu konsep yang didasarkan oleh sistem yang memungkinkan para wirausaha bergerak cepat, dengan biaya-biaya overhead yang rendah, berbasiskan struktur usaha kecil-menengah yang adaptif dan didukung industri-industri penopang yang lengkap serta pasokan SDM dari universitas-universitas atau SMK yang berkualitas.

Ditambahkan juga bahwa kebijakan kewirausahaan harus ditujukan pertama, pengembangan sumber daya manusia misalnya melalui pendidikan kewirausahaan baik yang formal maupun informal. Disini perlu digalakkan berkembangnya institusi pendidikan yang mendorong peserta didik untuk berorientasi pada penciptaan usaha baru (entrepreneur) atau bekerja sendiri (self-employment). Kedua, tersedianya sumber permodalan yang mudah diakses oleh wirausaha baru. Perbankan dan lembaga keuangan konvensional lainnya sulit diandalkan untuk mendukung wirausaha baru, hal ini dikarenakan persyaratan yang diminta oleh perbankan tidak sesuai dengan kebutuhan usaha pada tahap start-up. Di sini perlu didorong munculnya lembaga keuangan alternatif yang fokus pada new venture financing.

Ketiga, penghapusan hambatan bagi penciptaan bisnis baru. Sudah seharusnya pemerintah meniadakan semua hambatan bagi warga negara yang akan berusaha. Bahkan oleh karenanya, pemerintah harus memberikan pelayanan yang semestinya, misalnya melalui kemudahan dan penyederhanaan perijinan usaha satu atap di tingkat kota / kabupaten, propinsi maupun di tingkat nasional. Keempat, peningkatan infrastuktur yang menunjang kewirausahaan berkembang seperti pusat inkubasi bisnis, serta kelima, pengembangan inovasi bisnis dan teknologi yang memberikan dukungan perkembangan usaha.

Bagi banyak negara, kewirausahaan memainkan peran yang sangat penting seperti motor kunci pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja baru. Kewirausahaan juga didorong sebagai salah satu alat perangsang inovasi. Dalam konteks negara industrialis maju dan perekonomian yang berbasis pengetahuan kewirausahaan merupakan instrumen untuk mengembangkaninovasi, khususnya di industri teknologi tinggi. Sementara bagi negara berkembang seperti Indonesia di mana pengangguran merupakan salah satu masalah ekonomi utama, hubungan antara kewirausahaan dan penciptaan lapangan kerja tentu harus menjadi perhatian utama. Maka, dalam konteks ini, kewirausahaan tidak saja cukup menjadi alat, tapi juga harus menjadi target.

Oleh karenanya, menurut hemat penulis, selagi masih banyak yang ingin berwirausaha di negeri ini, maka taburkan benih kewirausahaan, semailah benih kewirausahaan, berikanlah kepada wirausaha itu iklim yang sehat untuk mereka bisa hidup, peliharalah mereka agar dapat tumbuh dan berkembang, jangan ganggu mereka dengan kebijakan yang tidak relevan. Pada gilirannya nanti, niscaya perekonomian akan secara maksimal memberikan kesejahteraan.***jurnasMahasiswa Program S2 Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung (SBM ITB), Ferry Dzulkifli, berbagi opini terkait kewirausahaan. Artikelnya dimuat di Harian Jurnal Nasional Edisi Selasa 11 Mei 2010. Berikut petikannya:

Perlunya Kebijakan Kewirausahaan
Ferry Dzulkifli

Indonesia menjadi salah satu dari 40 negara yang diundang pada KTT Kewirausahaan yang akan diselenggarakan pada tanggal 26-27 April 2010 ini di Washington DC (Kompas, 19/04/2010). KTT ini menandakan bahwa kewirausahaan telah mendapat perhatian besar terutama pascakrisis ekonomi akhir-akhir ini. Kewirausahaan dipandang sebagai aspek penting dalam dinamika ekonomi, di mana di saat krisis ia dapat muncul menjadi pemicu perubahan bisnis sebagai salah satu ciri-ciri apa yang disebut kerusakan kreatif (creative destruction). Kondisi yang terjadi dalam krisis menandai wirausaha yang kurang efisien akan gagal sementara mereka yang lebih efisien akan muncul dan berkembang. Model bisnis dan teknologi baru, khususnya yang menciptakan pengurangan biaya, seringkali muncul dalam situasi terpuruk.

Sebelumnya dalam pidatonya pada acara “National Summit”, akhir tahun lalu, Presiden SBY menjelasakan bahwa kewirausahan menjadi salah satu kunci yang diperlukan dalam mencapai tujuan program yang disebutnya pro-growth (pertumbuhan), pro-job (lapangan kerja), dan pro-poor (pengurangan kemiskinan). Sedemikian pentingnya kewirausahaan, Porter (1990) menyebutkan bahwa kewirausahaan berada pada jantung keunggulan nasional. Sementara Zoltan Acs dkk (2008) menambahkan bahwa kewirausahaan sekarang ini menjadi pusat (jawaban) dari berbagai pertanyaan mengenai kebijakan yang terkait dengan ilmu dan teknologi, keberlanjutan, kemiskinan, sumber daya manusia, penyerapan tenaga kerja, dan keunggulan komparatif regional.

Pembangunan Ekonomi
Para wirausaha memiliki peran utama dalam pembangunan ekonomi. Mereka sebagai seorang individu maupun melalui perusahaannya telah berbuat sesuatu yang inovatif dan secara kreatif membongkar struktur pasar yang ada. Di samping itu mereka juga memberikan kontribusi dalam penciptaan lapangan kerja, peningkatan produktivitas dan daya saing, serta melakukan pembentukan industri baru.

Pentingnya kewirausahaan di negara berkembang dijelaskan oleh Sameekha Desai (2009) bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat antara penciptaan wirausahawan dengan pembangunan ekonomi di negara-negara tersebut, di mana di negara maju kewirausahaan bahkan telah menghasilkan kemakmuran. Dalam beberapa tahun terkahir, beberapa pakar telah mengenalkan upaya untuk mengatasi kesenjangan kapasitas kewirausahaan dalam inovasi dan pertumbuhan serta kontribusinya pada kemakmuran dan kesejahteraan ekonomi.

Menurut hasil penelitian seorang ilmuwan Amerika Serikat (AS), David McClelland, suatu negara dapat dikatakan makmur, minimal harus memiliki jumlah wirausahawan sebanyak dua persen dari jumlah populasi penduduknya. Di Indonesia saat ini jumlah pelaku usaha di mencapai lebih dari 40 juta unit usaha atau sekitar 17 persen dari total populasi. Namun, jumlah ini belum selaras dengan peran kewirausahaan yang sesungguhnya. Hal ini dikarenakan sebagian besar usaha mereka menurut Rhenald Kasali (2010) adalah usaha yang dikelola secara asal-asalan, sekadar bisa menghidupi, dan sangat informal.

Berdasarkan keikutserataan Indonesia dalam survey Global Entrepreneurship Monitor (GEM) tahun 2006, jumlah wirausaha di Indonesia adalah sebesar 19,3 % dari jumlah total penduduk dewasa. Namun dalam kurva-U Total Entrepreneurial Activity (TEA) Index dalam survey tersebut, Indonesia di posisikan sebagai negara dengan kondisi jumlah wirausaha yang besar namun dengan pendapatan perkapita tergolong kecil. Dalam laporan GEM juga disebutkan bahwa kewirausahan pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam kewirausahaan atas dasar merespon peluang (opportunity entrepreneurship) dan kewirausahaan yang didasarkan atas kebutuhan untuk hidup (necessity entrepreneurship).

Memperhatikan kondisi tersebut, maka dapat diduga bahwa sebagian besar wirausaha kita adalah mereka yang tergolong sebagai necessity entrepreneurship. Oleh karenanya, diperlukan adanya kebijakan maupun iklim yang dapat mendorong kesempatan berusaha bagi setiap orang yang merintis usaha.

Kebijakan Kewirausahaan
Berbagai pakar dan peneliti menyebutkan guna merespon kebutuhan iklim yang lebih baik untuk menumbuhkan kewirusahaan diperlukan apa yang disebut entrepeneurship policy, entrepreneurial policy ataupun entrepreneurial economy. Dijelaskan oleh Roy Thurik (2009) bahwa entrepreneurial economy merupakan model yang tepat untuk menerangkan peran kewirausahaan kontemporer baik di negara maju maupun negara yang sedang bangkit ekonominya. Di dalam model ekonomi ini seluruh kebijakan yang merespon pembangunan ekonomi didominasi oleh pengetahuan sebagai faktor produksi dari modal kewirausahaan atau kapasitas untuk melibatkan dan menggerakkan kegiatan kewirausahaan.

Rhenald Kasali (2010) menjelaskan bahwa entrepreneurial economy adalah suatu konsep yang didasarkan oleh sistem yang memungkinkan para wirausaha bergerak cepat, dengan biaya-biaya overhead yang rendah, berbasiskan struktur usaha kecil-menengah yang adaptif dan didukung industri-industri penopang yang lengkap serta pasokan SDM dari universitas-universitas atau SMK yang berkualitas.

Ditambahkan juga bahwa kebijakan kewirausahaan harus ditujukan pertama, pengembangan sumber daya manusia misalnya melalui pendidikan kewirausahaan baik yang formal maupun informal. Disini perlu digalakkan berkembangnya institusi pendidikan yang mendorong peserta didik untuk berorientasi pada penciptaan usaha baru (entrepreneur) atau bekerja sendiri (self-employment). Kedua, tersedianya sumber permodalan yang mudah diakses oleh wirausaha baru. Perbankan dan lembaga keuangan konvensional lainnya sulit diandalkan untuk mendukung wirausaha baru, hal ini dikarenakan persyaratan yang diminta oleh perbankan tidak sesuai dengan kebutuhan usaha pada tahap start-up. Di sini perlu didorong munculnya lembaga keuangan alternatif yang fokus pada new venture financing.

Ketiga, penghapusan hambatan bagi penciptaan bisnis baru. Sudah seharusnya pemerintah meniadakan semua hambatan bagi warga negara yang akan berusaha. Bahkan oleh karenanya, pemerintah harus memberikan pelayanan yang semestinya, misalnya melalui kemudahan dan penyederhanaan perijinan usaha satu atap di tingkat kota / kabupaten, propinsi maupun di tingkat nasional. Keempat, peningkatan infrastuktur yang menunjang kewirausahaan berkembang seperti pusat inkubasi bisnis, serta kelima, pengembangan inovasi bisnis dan teknologi yang memberikan dukungan perkembangan usaha.

Bagi banyak negara, kewirausahaan memainkan peran yang sangat penting seperti motor kunci pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja baru. Kewirausahaan juga didorong sebagai salah satu alat perangsang inovasi. Dalam konteks negara industrialis maju dan perekonomian yang berbasis pengetahuan kewirausahaan merupakan instrumen untuk mengembangkaninovasi, khususnya di industri teknologi tinggi. Sementara bagi negara berkembang seperti Indonesia di mana pengangguran merupakan salah satu masalah ekonomi utama, hubungan antara kewirausahaan dan penciptaan lapangan kerja tentu harus menjadi perhatian utama. Maka, dalam konteks ini, kewirausahaan tidak saja cukup menjadi alat, tapi juga harus menjadi target.

Oleh karenanya, menurut hemat penulis, selagi masih banyak yang ingin berwirausaha di negeri ini, maka taburkan benih kewirausahaan, semailah benih kewirausahaan, berikanlah kepada wirausaha itu iklim yang sehat untuk mereka bisa hidup, peliharalah mereka agar dapat tumbuh dan berkembang, jangan ganggu mereka dengan kebijakan yang tidak relevan. Pada gilirannya nanti, niscaya perekonomian akan secara maksimal memberikan kesejahteraan.***