BILL WATSON resMembaca berita mengenai kerusuhan yang mengakibatkan tiga orang penganut Ahmadiyah tewas, kemudian membaca mengenai kebakaran gereja di Temanggung, Jawa Tengah, saya bertanya-tanya mengapa begitu gampang masyarakat setempat  dapat dihasut berbuat onar demikian. Salah satu jawab yang sering kami dengar ialah bahwa sebenarnya bukan masyarakat setempat yang bertindak demikian tetapi orang dari luar yang diupah oknum-oknum supaya menimbulkan keadaan kacau demi kepentingan-kepentingan orang-orang tertentu. Ingatlah persitiwa pembunuhan ninja di Jawa Timur beberapa tahun lalu yang akhirnya terbukti disebabkan gara-gara politik.BILL WATSON resMembaca berita mengenai kerusuhan yang mengakibatkan tiga orang penganut Ahmadiyah tewas, kemudian membaca mengenai kebakaran gereja di Temanggung, Jawa Tengah, saya bertanya-tanya mengapa begitu gampang masyarakat setempat  dapat dihasut berbuat onar demikian. Salah satu jawab yang sering kami dengar ialah bahwa sebenarnya bukan masyarakat setempat yang bertindak demikian tetapi orang dari luar yang diupah oknum-oknum supaya menimbulkan keadaan kacau demi kepentingan-kepentingan orang-orang tertentu. Ingatlah persitiwa pembunuhan ninja di Jawa Timur beberapa tahun lalu yang akhirnya terbukti disebabkan gara-gara politik.

Kemungkinan besar memang ada sebab-sebab politik dan kepentingan tertentu yang menyulut banyak peristiwa kerusuhan di Indonesia belakangan ini yang sasarannya orang beragama minoritas atau suku etnis. Tetapi susah dibuktikan dan kalau tanggapan kita hanya terbatas pada menebak siapa-siapa oknum-oknum itu, bukan saja kita sia-sia habis tenaga, tetapi kita juga lalai dalam melaksanakan tanggungjawab kita sebagai warga untuk mengikutserta dalam menanggulangi keadaan yang kita hadapi.
Tokoh-tokoh agama menyadari hal itu dan cepat turun tangan mengutuk tindakan anarkis. Cuma sayang  bahwa sambil mengecam perusuh  mereka merasa harus juga  mengritik agama minoritas atau suku ethnis yang secara tersirat dianggap asal-mulanya semua kesusahan. Membaca kritik tokoh-tokoh ini kaum perusuh dapat senyum dan berkesimpulan bahawa kritikan terhadap mereka cuma simbolis saja dan sebenarnya tokoh-tokoh itu membenarkan mereka. Semestinya kritikan terhadap  perusuh tidak diekori oleh tambahan kritis berhubung dengan korban.
Dalam koran juga kita membaca opini orang yang nampaknya dalam meninjau peristiwa kerusuhan  tidak mengucapkan rasa belaskasihan pada korban, malah membahas mengapa korban itulah yang salah. Sayang sekali, karena dalam sikon kini pengucapan pendapat demikian seperti menuangkan minyak ke api. Memamg siapa saja berhak berdebat dan membahas mengenai kepercayaan agama dan aliran-aliran kepercayaan, tetapi pilihlah waktu yang tepat.  Dalam keadaan tegang orang mudah dihasut. Kenyataan ini membawa kita kembali pada pertanyaan tadi: mengapa kok di Indonesia dan Pakistan dan Irlandia Utara perbedaan faham agama dengan gampang dapat diperalatkan oleh pemimpin anarkis? Mengapa orang begitu peka dalam hal ini dan  – lepas dari preman yang diiming-iming uang upahan – bersedia main kekerasan.  Dan siapa mereka yang bertindak dalam kerusuhan?

Saya tidak percaya bahwa tindakan anarkis ialah akibat  peluapan amarah dari masyarakat umum. Dan saya tidak percaya bahwa umat Islam di Indonesia pada umumnya begitu marah pada orang Ahmadiyah (atau orang Kristen yang dicurigai) sehingga mereka ingin memusnahkannya. Kebanyakan orang tidak peduli karena dalam kehidupan sehari-hari mereka tidak merasa terancam oleh penganut agama lain dalam melaksankan ibadahnya. Jadi kalau penganut agama lain tidak dianggap ancaman mengapa orang mudah diskobarkan oleh oknum dari luar?
Apa gejala ini disebabkan karena sekali-sekali, walaupun tidak merasa terancam, namun tetap ada perasaan khawatir yang tiba-tiba meledak, disebabkan api dari luar atau perobahan keadaan ekonomi yang membuat semua orang gelisah dan cepat tersinggung? Mungkin, dan memang hal-hal ini selalu menjadi titik-tolak penelitian ahli ilmu sosial – sosiolog, anthropolog, peneliti politik. Kesimpulannya sering berbeda-beda. Lihat umpamanya pendapat ahli politik John Sidel dalam bukunya mengenai kerusuhan di Ambon (Riots, Pogroms Jihad 2007) bahwa sebabnya orang akhirnya bermusuhan sesudah bertahun-tahun hidup damai berdampingan acapkali disebabkan justeru karena mereka merasa bahwa sekarang tidak ada perbedaan antara mereka dan tetangga mereka (dari lain agama atau suku ethnis) dan justeru itu merasa bahwa jati diri dan kepribadiannya akan melebur ke dalam kancah bersamaan. Untuk menjaga harga diri dan keistimewaannya akhirnya mereka mengambil sikap bermusuhan dan main kekerasan.  (Saya sendiri tidak berpegang pada teori ini; saya lebih berkecenderungan bahwa sebab-sebab ekonomilah yang kerap menimbulkan rasa iri dan dapat menjadi pemicu kekacauan.)
Sebagai anthropolog yang berminat pada pelajaran sejarah dengan sendirinya saya berusaha mencari kejadian-kejadian bandingan dari sejarah dan dari negara dan masyarakat lain untuk membantu saya meneropongi peristiwa sekarang. Memang tiap peristiwa berbeda dan kita tidak boleh memakai rumusan ilmu pasti  alam untuk mengetahui sebab-sebab peristiwa sosial. Tetapi sejarah dan ilmu perbandingan dapat menolong mempertimbangkan maslah dengan kacamata baru.
Di benua Europa abad ke 17 terkenal sebagai abad perang agama yang makan banyak korban.  Terutama di daerah yang sekarang menjadi negara Jerman perang yang berlangsung 30 tahun melayangkan ribuan jiwa. Perang tersebut disebabkan perbedaan antara Katolik dan Protestan. Di Inggris juga terjadi permusuhan antara Katolik dan Protestan. Pada waktu Mary Tudor menjadi Ratu  (1528) dia membunuh Protestan dengan cara kejam; waktu adiknya Elizabeth kemudian menjadi ratu banyak Katolik dihukum mati, apalagi kalau sebagai pendeta mereka dipergoki melayani keperluan ibadah umatnya. Permusuhan dan saling curiga-mencurigai antara Protestan dan Katolik lama bertahan. Baru pada abad ke 19 (1828 – tahun Akte Kebebasan Katolik) orang Katolik dapat hak penuh sebagai waranegara.
Dan sekarang orang Katolik dan orang Protestan di Eropa dapat hidup rukun dan damai. Dua-duanya menyebut diri Kristen dan dua-duanya menganggap yang satu lagi tersesat: Katolik percaya bahwa aliran Protestan aliran sesat yang lahir abad ke 16 akibat pemurtadan Luther, Knox dan Calvin. Orang Protestan percaya bahwa Katolik yang tersesat dan dibawa menyeleweng dari agama Kristen lurus oleh Paus yang bertindak sewenang -wenang. Tetapi yang penting ialah sekarang walaupun berbeda pendapat mereka saling hormat-menghormati dan mereka dapat bekerjasama dalam banyak forum lintas agama. Mereka samasekali tidak tersinggung bahwa fihak yang mereka anggap keliru justru menganggap mereka keliru. Begitu kuat keyakinan bahwa kebasan agama ialah sesuatu yang harus dijaga ketat bukan saja karena mereka tidak mau kembali pada zaman bunuh-membunuh dulu, tetapi karena mereka yakin bahwa dalam agama tidak ada kepaksaan dan tiap orang harus diberi peluang memegang kepercayaan sendiri.
Jelas bahwa mereka harap bahwa dalam pemilihannya orang akan memilih agama mereka sebagai agama benar dan dalam menyebarkan keterangan mengenai agama memang itu tujuannya – orang Katolik harap orang yang sudah mencapai kesadaran beragama akan memilih agama Kaltolik dan Protestan sebaliknya. Tetapi usaha mereka terbatas pada penyebaran keterangan dan pelajaran; tidak ada paksaan. Dalam hal ini tiap agama percaya pada kematangan orang dewasa untuk mengambil pilihan sendiri. Dengan cara demikian Protestan dan Katolik bukan saja hidup damai tetapi saling membantu dalam meningkatkan kesadaran khalayak ramai mengenai pentingnya nilai-nilai agama apapun.
Sekali-sekali dari pihak atheis di Europa kami mendengar ejekan terhadap agama, seperti belakangan ini dari Richard Dawkins yang tidak habis-habis mengritik orang beragama yang menurut dia percaya pada tahyul. Orang beragama tidak mengambil pusing. Mengapa? Karena mereka tahu bahwa Tuhan tidak bersifat seperti manusia dan Tuhan tidak akan tersentuh sedikitpun dari sebutan apa yang kaum atheis lontarkan. Barangkali dari sejarah persahabatan agama ini, kita di Indonesia, tanpa harus berulang menempuhi jalan peperangan dahsyat sebagai dialami orang Europa, Â dapat mengambil pelajaran bagaimana mencari kerukunan. Memang keadaan di Indonesia lain dari keadaan di Europa tetapi hanya orang yang kurang waras akan menutup mata pada kemungkinan belajar dari pengalaman orang lain yang tercantum dalam sejarah.***

Bill Watson, Bandung Feb. 8th 2011-02-09
Professor SBM –ITB
Emeritus Professor University of Kent, UK

Kemungkinan besar memang ada sebab-sebab politik dan kepentingan tertentu yang menyulut banyak peristiwa kerusuhan di Indonesia belakangan ini yang sasarannya orang beragama minoritas atau suku etnis. Tetapi susah dibuktikan dan kalau tanggapan kita hanya terbatas pada menebak siapa-siapa oknum-oknum itu, bukan saja kita sia-sia habis tenaga, tetapi kita juga lalai dalam melaksanakan tanggungjawab kita sebagai warga untuk mengikutserta dalam menanggulangi keadaan yang kita hadapi.
Tokoh-tokoh agama menyadari hal itu dan cepat turun tangan mengutuk tindakan anarkis. Cuma sayang  bahwa sambil mengecam perusuh  mereka merasa harus juga  mengritik agama minoritas atau suku ethnis yang secara tersirat dianggap asal-mulanya semua kesusahan. Membaca kritik tokoh-tokoh ini kaum perusuh dapat senyum dan berkesimpulan bahawa kritikan terhadap mereka cuma simbolis saja dan sebenarnya tokoh-tokoh itu membenarkan mereka. Semestinya kritikan terhadap  perusuh tidak diekori oleh tambahan kritis berhubung dengan korban.
Dalam koran juga kita membaca opini orang yang nampaknya dalam meninjau peristiwa kerusuhan  tidak mengucapkan rasa belaskasihan pada korban, malah membahas mengapa korban itulah yang salah. Sayang sekali, karena dalam sikon kini pengucapan pendapat demikian seperti menuangkan minyak ke api. Memamg siapa saja berhak berdebat dan membahas mengenai kepercayaan agama dan aliran-aliran kepercayaan, tetapi pilihlah waktu yang tepat.  Dalam keadaan tegang orang mudah dihasut. Kenyataan ini membawa kita kembali pada pertanyaan tadi: mengapa kok di Indonesia dan Pakistan dan Irlandia Utara perbedaan faham agama dengan gampang dapat diperalatkan oleh pemimpin anarkis? Mengapa orang begitu peka dalam hal ini dan  – lepas dari preman yang diiming-iming uang upahan – bersedia main kekerasan.  Dan siapa mereka yang bertindak dalam kerusuhan?

Saya tidak percaya bahwa tindakan anarkis ialah akibat  peluapan amarah dari masyarakat umum. Dan saya tidak percaya bahwa umat Islam di Indonesia pada umumnya begitu marah pada orang Ahmadiyah (atau orang Kristen yang dicurigai) sehingga mereka ingin memusnahkannya. Kebanyakan orang tidak peduli karena dalam kehidupan sehari-hari mereka tidak merasa terancam oleh penganut agama lain dalam melaksankan ibadahnya. Jadi kalau penganut agama lain tidak dianggap ancaman mengapa orang mudah diskobarkan oleh oknum dari luar?
Apa gejala ini disebabkan karena sekali-sekali, walaupun tidak merasa terancam, namun tetap ada perasaan khawatir yang tiba-tiba meledak, disebabkan api dari luar atau perobahan keadaan ekonomi yang membuat semua orang gelisah dan cepat tersinggung? Mungkin, dan memang hal-hal ini selalu menjadi titik-tolak penelitian ahli ilmu sosial – sosiolog, anthropolog, peneliti politik. Kesimpulannya sering berbeda-beda. Lihat umpamanya pendapat ahli politik John Sidel dalam bukunya mengenai kerusuhan di Ambon (Riots, Pogroms Jihad 2007) bahwa sebabnya orang akhirnya bermusuhan sesudah bertahun-tahun hidup damai berdampingan acapkali disebabkan justeru karena mereka merasa bahwa sekarang tidak ada perbedaan antara mereka dan tetangga mereka (dari lain agama atau suku ethnis) dan justeru itu merasa bahwa jati diri dan kepribadiannya akan melebur ke dalam kancah bersamaan. Untuk menjaga harga diri dan keistimewaannya akhirnya mereka mengambil sikap bermusuhan dan main kekerasan.  (Saya sendiri tidak berpegang pada teori ini; saya lebih berkecenderungan bahwa sebab-sebab ekonomilah yang kerap menimbulkan rasa iri dan dapat menjadi pemicu kekacauan.)
Sebagai anthropolog yang berminat pada pelajaran sejarah dengan sendirinya saya berusaha mencari kejadian-kejadian bandingan dari sejarah dan dari negara dan masyarakat lain untuk membantu saya meneropongi peristiwa sekarang. Memang tiap peristiwa berbeda dan kita tidak boleh memakai rumusan ilmu pasti  alam untuk mengetahui sebab-sebab peristiwa sosial. Tetapi sejarah dan ilmu perbandingan dapat menolong mempertimbangkan maslah dengan kacamata baru.
Di benua Europa abad ke 17 terkenal sebagai abad perang agama yang makan banyak korban.  Terutama di daerah yang sekarang menjadi negara Jerman perang yang berlangsung 30 tahun melayangkan ribuan jiwa. Perang tersebut disebabkan perbedaan antara Katolik dan Protestan. Di Inggris juga terjadi permusuhan antara Katolik dan Protestan. Pada waktu Mary Tudor menjadi Ratu  (1528) dia membunuh Protestan dengan cara kejam; waktu adiknya Elizabeth kemudian menjadi ratu banyak Katolik dihukum mati, apalagi kalau sebagai pendeta mereka dipergoki melayani keperluan ibadah umatnya. Permusuhan dan saling curiga-mencurigai antara Protestan dan Katolik lama bertahan. Baru pada abad ke 19 (1828 – tahun Akte Kebebasan Katolik) orang Katolik dapat hak penuh sebagai waranegara.
Dan sekarang orang Katolik dan orang Protestan di Eropa dapat hidup rukun dan damai. Dua-duanya menyebut diri Kristen dan dua-duanya menganggap yang satu lagi tersesat: Katolik percaya bahwa aliran Protestan aliran sesat yang lahir abad ke 16 akibat pemurtadan Luther, Knox dan Calvin. Orang Protestan percaya bahwa Katolik yang tersesat dan dibawa menyeleweng dari agama Kristen lurus oleh Paus yang bertindak sewenang -wenang. Tetapi yang penting ialah sekarang walaupun berbeda pendapat mereka saling hormat-menghormati dan mereka dapat bekerjasama dalam banyak forum lintas agama. Mereka samasekali tidak tersinggung bahwa fihak yang mereka anggap keliru justru menganggap mereka keliru. Begitu kuat keyakinan bahwa kebasan agama ialah sesuatu yang harus dijaga ketat bukan saja karena mereka tidak mau kembali pada zaman bunuh-membunuh dulu, tetapi karena mereka yakin bahwa dalam agama tidak ada kepaksaan dan tiap orang harus diberi peluang memegang kepercayaan sendiri.
Jelas bahwa mereka harap bahwa dalam pemilihannya orang akan memilih agama mereka sebagai agama benar dan dalam menyebarkan keterangan mengenai agama memang itu tujuannya – orang Katolik harap orang yang sudah mencapai kesadaran beragama akan memilih agama Kaltolik dan Protestan sebaliknya. Tetapi usaha mereka terbatas pada penyebaran keterangan dan pelajaran; tidak ada paksaan. Dalam hal ini tiap agama percaya pada kematangan orang dewasa untuk mengambil pilihan sendiri. Dengan cara demikian Protestan dan Katolik bukan saja hidup damai tetapi saling membantu dalam meningkatkan kesadaran khalayak ramai mengenai pentingnya nilai-nilai agama apapun.
Sekali-sekali dari pihak atheis di Europa kami mendengar ejekan terhadap agama, seperti belakangan ini dari Richard Dawkins yang tidak habis-habis mengritik orang beragama yang menurut dia percaya pada tahyul. Orang beragama tidak mengambil pusing. Mengapa? Karena mereka tahu bahwa Tuhan tidak bersifat seperti manusia dan Tuhan tidak akan tersentuh sedikitpun dari sebutan apa yang kaum atheis lontarkan. Barangkali dari sejarah persahabatan agama ini, kita di Indonesia, tanpa harus berulang menempuhi jalan peperangan dahsyat sebagai dialami orang Europa, Â dapat mengambil pelajaran bagaimana mencari kerukunan. Memang keadaan di Indonesia lain dari keadaan di Europa tetapi hanya orang yang kurang waras akan menutup mata pada kemungkinan belajar dari pengalaman orang lain yang tercantum dalam sejarah.***

Bill Watson, Bandung Feb. 8th 2011-02-09
Professor SBM –ITB
Emeritus Professor University of Kent, UK