Judul Buku: The Innovator’s DNA
Penulis: Jeff Dyer, Hal Gregersen, Clayton M. Christensen
Penerbit: Harvard Business Review Press, Boston
Terbitan: Juli 2011
Tebal: 304 halaman

Kreativitas bisa dilatih
dan tidak diturunkan
secara genetis.

 

Apa yang akan terjadi ketika para pakar inovasi berkolaborasi? Salah satu jawabannya adalah ide brilian yang akhirnya menjadi sebuah buku best seller. Jeff Dyer, profesor strategi dari Brigham Young University; Hal Gregersen, profesor kepemimpinan dari INSEAD; dan Clayton M. Christensen, profesor administrasi bisnis di Harvard Business School bekerja sama merumuskan faktor yang menjadi kunci sukses para inovator dunia. Khusus bagi Christensen, buku ini melanjutkan kesuksesan bukunya terdahulu yang fenomenal, The Innovator’s Dilemma .

Ketiga pakar itu meyakini bahwa setiap individu mampu menjadi seorang inovator yang berhasil jika memiliki lima kebiasaan kreatif, yaitu associating, questioning, observing, networking, dan experimenting . Kelima hal itu didapat dengan cara mengidentifikasi perilaku para pemimpin perusahaan inovatif kelas dunia, mulai Steve Jobs (Apple), Jeff Bezos (Amazon), hingga Sir Richard Branson (Virgin Group).

Kesimpulannya, kelima kebiasaan tersebut tidak diturunkan secara genetis, tapi murni perilaku yang bisa dipelajari dan dilatih. Lalu, bagaimana para inovator ini menemukan ide yang disruptive , mengejutkan, brilian, sekaligus berbeda dengan yang lain?

Association adalah kemampuan untuk menghubungkan berbagai pertanyaan, masalah, dan ide yang berkecamuk di dalam pikiran. Mampu menghubungkan berbagai hal dari berbagai disiplin ilmu untuk menghasilkan sebuah ide kreatif. Sebagaimana Steve Jobs mengatakan creativity is connecting things .

Bagaimana cara melatih kemampuan asosiasi kita? Proses berbagi pengetahuan merupakan aktivitas yang disarankan agar selalu mendapatkan ide baru. Semakin banyak ide baru yang didapat, kian banyak asosiasi ide yang bisa dibangun dalam pikiran kita. Proses ini disebut sebagai Lego Thinking. Semakin banyak balok yang dikumpulkan, kian inovatif struktur bangunan yang mampu dibuat.

Kebiasaan berikutnya adalah mengajukan banyak pertanyaan yang gila, menantang, sekaligus provokatif. Mantan CEO P&G, A.G. Lafley, dikenal sebagai pemimpin bisnis yang gemar mengajukan banyak pertanyaan aneh dan tidak umum. Dua hal yang kerap menghambat kita untuk mengajukan pertanyaan provokatif adalah ketakutan untuk terlihat bodoh dan enggan dianggap tak kooperatif. Lebih baik diam daripada bertanya untuk kemudian ditertawakan.

Kemampuan bertanya ini harus dilatih, di antaranya dengan mengadakan sesi question-storming untuk mengajukan pertanyaan sebanyak-banyaknya atas sebuah masalah.

Berikutnya, seorang inovator adalah pengamat sejati. Tak hanya mengamati peristiwa, tapi juga menjadi pengamat terhadap hal-hal yang tidak eksplisit, seperti hubungan emosi antarmanusia, ide-ide yang berkembang, dan informasi yang beredar. Proses kelahiran mobil paling murah sedunia, Tata Nano, pada 2009 tak lepas dari kemampuan observasi sang CEO Tata Group, Ratan Tata. Ia tak sengaja mengamati sebuah keluarga kelas bawah di Mumbai yang mengendarai skuter dalam kondisi basah kuyup dalam suatu sore yang hujan pada 2003.

Tidak seperti kalangan eksekutif yang membangun jaringan untuk memperoleh akses ataupun menjual produknya, inovator membangun jaringan untuk sebuah tujuan sederhana: memperkaya pengetahuan. Pada 1987, Michael Lazaridis menghadiri sebuah pameran perdagangan untuk mendapatkan ide baru bagi perusahaan yang baru dibentuknya. Di sana, pendiri Research In Motion (produsen BlackBerry) itu menyaksikan presentasi DoCoMo dalam mengembangkan sistem nirkabel bagi mesin penjual Coca-Cola yang secara otomatis akan mengirimkan sinyal ketika stok mesin tersebut hampir habis.

Lazaridis kemudian mendapat ide agar perusahaannya berfokus pada teknologi pengiriman data secara nirkabel. Kini kita menyaksikan bagaimana perusahaannya menjadi salah satu pemain penting dalam industri telekomunikasi dunia.

Kemampuan terakhir adalah eksperimen. Hal ini bermanfaat bagi para inovator untuk mendapatkan data sekaligus melihat bagaimana ide-ide mereka bekerja. Jika gagal, mereka mencari solusi perbaikan dengan segera. Melatih kemampuan eksperimen bisa dilakukan, antara lain, dengan mengembangkan kemampuan baru, seperti mempelajari bahasa asing, yoga, dan olahraga baru.

Kekuatan buku ini terletak pada riset kolaboratif selama delapan tahun yang melibatkan lebih dari 100 pemimpin perusahaan inovatif dunia untuk merumuskan apa itu DNA inovator. Hasil riset ini meraih posisi runner-up pada acara Harvard Business Review McKinsey Award 2009. Buku ini juga menyediakan beberapa alat ukur untuk mengukur DNA inovator, baik pada level individu maupun korporasi. Jadi, apakah Anda adalah Steve Jobs selanjutnya? Periksa kembali DNA inovator Anda!

Yudo Anggoro, dosen Sekolah Bisnis dan Manajemen ITB, kandidat doktor kebijakan publik di University of North Carolina, Amerika Serikat.

http://epaper.korantempo.com/PUBLICATIONS/KT/KT/2011/10/23/index.shtml?ArtId=017_003&Search=Y

sumber : 

Koran Tempo Minggu, 23 Oktober 2011, Hal. A16