Krisis ekonomi global menimbulkan dua sikap dan cara pandang bagi manusia. Ada manusia yang memiliki pola pikir negatif dan pesimis, memandang bahwa krisis adalah sebuah malapetaka; namun ada manusia yang memiliki sikap dan pola pikir positif dan optimis, memandang krisis sebagai sebuah tantangan dan peluang, agar manusia mau dan mampu menggunakan pengetahuannya untuk mencari solusi dengan menghasilkan kreatifitas dan inovasi untuk keluar dari krisis. Nasib sebuah negara, ditentukan oleh kualifikasi masyarakat/penduduknya. Sebuah negara akan mampu keluar dari krisis dengan inovasi-inovasinya, jika masyarakat/ penduduk negara tersebut memiliki kualitas ilmu/keterampilan yang baik serta sikap dan pola pikir positif dan optimis.

Krisis ekonomi global menimbulkan dua sikap dan cara pandang bagi manusia. Ada manusia yang memiliki pola pikir negatif dan pesimis, memandang bahwa krisis adalah sebuah malapetaka; namun ada manusia yang memiliki sikap dan pola pikir positif dan optimis, memandang krisis sebagai sebuah tantangan dan peluang, agar manusia mau dan mampu menggunakan pengetahuannya untuk mencari solusi dengan menghasilkan kreatifitas dan inovasi untuk keluar dari krisis. Nasib sebuah negara, ditentukan oleh kualifikasi masyarakat/penduduknya. Sebuah negara akan mampu keluar dari krisis dengan inovasi-inovasinya, jika masyarakat/ penduduk negara tersebut memiliki kualitas ilmu/keterampilan yang baik serta sikap dan pola pikir positif dan optimis.

Di era pengetahuan saat ini, potensi sumber daya alam yang dimiliki sebuah negara tidak menjamin keberhasilan dalam menumbuhkan dan mengembangkan ekonominya secara berkelanjutan. Fakta menunjukan bahwa negara-negara yang mengembangkan ekonomi berbasis pengetahuan, memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi untuk menumbuhkembangkan ekonomi nasional yang berkelanjutan.

Finlandia dan Korea Selatan merupakan contoh dua negara yang berhasil mengembangkan ekonomi berbasis pengetahuan, sehingga pertumbuhan kinerja perekonomian mereka cukup signifikan, khususnya jika dibandingkan dengan negara-negara yang menggunakan ekonomi berbasis sumber daya alam, seperti Indonesia.

Pada awal 1990-an, Finlandia juga mengalami krisis ekonomi seperti negara-negara lain, namun mereka mampu belajar dengan cepat untuk memperbaiki kelemahan dan kesalahan kebijakan masa lalunya. Finlandia awalnya mirip Indonesia, termasuk negara yang menjalankan kebijakan ekonomi berbasis sumber daya alam, namun kemudian berhasil berubah menjadi negara yang menjalankan ekonomi berbasis pengetahuan. Nokia adalah perusahaan swasta yang mampu menjadi motor penggerak proses transisi negara Finlandia dari kebijakan ekonomi berbasis sumber daya alam menjadi negara dengan kebijakan ekonomi berbasis pengetahuan. Nokia yang semula memiliki bisnis utama dalam industri kayu dan pulp, kemudian mampu berubah haluan menjadi perusahaan dengan menumbuhkembangkan bisnisnya berbasis telekomunikasi (pengetahuan).

Contoh lain, Korea Selatan adalah negara dengan sumber daya alam yang miskin, dimana pada tahun 1960-an, Korea Selatan memiliki GDP yang sedikit dibawah GDP Indonesia. Untuk membangun ekonominya, Korea Selatan menerapkan strategi pengembangan ekonomi lima tahunan, mirip seperti Repelita di Indonesia. Pada tahun 1997-1998, Korea Selatan juga mengalami krisis ekonomi seperti di Indonesia, dan mampu menggunakan krisis ini sebagai tonggak untuk berubah, sehingga sejak tahun 2000-an, mereka mulai fokus dengan menggunakan kebijakan pengembangan ekonomi berbasis pengetahuan.

Sebenarnya apa itu kebijakan ekonomi berbasis pengetahuan? Jann Hidajat Tjakraatmadja, Presiden KMSI (Knowledge Management Society Indonesia) menyatakan bahwa sebuah negara menerapkan ekonomi berbasis pengetahuan apabila negara terebut menumbuhkembangkan ekonominya dengan menggunakan pengetahuan sebagai modal utama. Pengetahuan sebagai aset yang tidak berwujud (intangible asset), memiliki sifat sebagai sumber daya yang tidak terbatas dan terbarukan dan bisa dikembangkan; berbeda dengan sumber daya alam yang memiliki sifat terbatas serta banyak yang tidak bisa diperbaharui (non renewable). Negara yang menjalankan kebijakan ekonomi berbasis pengetahuan, mengandalkan pada masyarakat/penduduk yang berkualitas sebagai Modal Pembangunannya.

World Bank merumuskan konsep empat pilar yang dibutuhkan oleh sebuah negara untuk menumbuhkembangkan ekonomi berbasis pengetahuan, yaitu (i) Memiliki kebijakan dan regulasi untuk menstimulasi dan melindungi pertumbuhan ekonomi/industri dalam negeri, (ii) Memiliki sistem pendidikan dan pelatihan nasional yang unggul untuk menghasilkan manusia yang memiliki kompetensi untuk bekerja/menciptakan nilai tambah ekonomi dalam negeri, (iii) Memiliki strategi dan sistem inovasi nasional berbasis riset dan pengembangan (R&D), dan (iv) Memiliki teknologi informasi dan komputer (TIK) yang mampu memfasilitasi proses penyimpanan, penyebaran dan pemanfaatan pengetahuan/ informasi kepada seluruh masyarakat di wilayah negaranya.

World Bank juga mengembangkan konsep untuk mengukur kinerja ekonomi pengetahuan sebuah negara, yaitu KAM (Knowledge Assessment Method), yang utamanya terdiri dari indikator KI (Knowledge Index) dan KEI (Knowledge Economy Index).

Gambar-1 menunjukan informasi tentang indikator kinerja ekonomi Indonesia dibandingkan dengan Korea Selatan dan Finlandia. Gambar-1 menunjukkan bahwa Finlandia dan Korea Selatan merupakan negara yang sangat berhasil membangun ekonomi berbasis pengetahuan.

Gambar-1: KAM Indonesia, Finland dan Korea Selatan Tahun 2012 (World Bank)

Gambar-1: KAM Indonesia, Finland dan Korea Selatan Tahun 2012 (World Bank)

Jika kita analisis lebih jauh terhadap masing-masing komponen indikator kinerja ekonomi pengetahuan, menarik untuk diperhatikan bahwa nilai kinerja ekonomi pengetahuan Korea Selatan lebih rendah dari Finlandia khususnya dalam kinerja kebijakan insentif ekonomi. Dalam hal ini, Korea Selatan menerapkan kebijakan ekonomi untuk proteksi industri dalam negeri (tariff & nontariff barriers) yang lebih ketat, sehingga World Bank memberi nilai yang rendah dibandingkan dengan Finlandia. Artinya, pemerintah Korea Selatan menerapkan kebijakan proteksi terhadap industri dalam negerinya, untuk menjaga kelangsungan dan pertumbuhan industri lokalnya. Bagaimana dengan Indonesia?

Gambar-1 juga menunjukkan bahwa nilai kinerja ekonomi pengetahuan Indonesia relatif jauh tertinggal oleh Korea Selatan dan Finlandia, ini membuktikan bahwa ekonomi Indonesia lebih dominan dikembangkan dengan menggunakan kebijakan ekonomi berbasis sumber daya alam, dibandingkan dengan ekonomi berbasis pengetahuan.

Lebih lanjut penelitian World Bank menunjukan bahwa ada hubungan pengaruh antara nilai KEI sebuah negara terhadap GDP dari negara tersebut. Gambar-2 menunjukan bahwa makin besar nilai KEI sebuah negara, semakin besar pula GDP dari negara tersebut.

Gambar-2: KEI versus GDP (World Bank)

Gambar-2: KEI versus GDP (World Bank)

Indonesia ada pada kelompok negara dimana KEI dan GDP-nya masih rendah. Penjelasan di atas menyimpulkan bahwa untuk mempercepat pertumbuhan dan pengembangan ekonomi nasional, Indonesia perlu menyempurnakan strategi dan kebijakan pengembangan ekonominya. Pemerintah Indonesia perlu segera membuat pernyataan yang lebih eksplisit tentang implementasi kebijakan ekonominya dengan didukung oleh konsep kebijakan ekonomi berbasis pengetahuan. Agar proses pembangunan Indonesia lebih efektif dan efisien, untuk menumbuhkembangkan ekonomi Indonesia yang berkelanjutan, kita sebaiknya mampu mengoptimalkan potensi sumber daya alam Indonesia, dan dipercepat dengan dukungan konsep dan kebijakan ekonomi berbasis pengetahuan. Artinya, kebijakan ekonomi yang cocok untuk Indonesia adalah integrasi yang sinergistik antara kebijakan ekonomi berbasis sumber daya alam dengan ekonomi berbasis pengetahuan.

Mempelajari konsep pengembangan ekonomi Indonesia yang tertuang dalam dokumen MP3EI (Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia), kami menyimpulkan perlu ada penyempurnaan, yaitu pernyataan eksplisit tentang pentingnya dukungan yang konkret dari implementasi kebijakan ekonomi berbasis pengetahuan, sebagai strategi dan modal utama pembangunan. Gambar-3 menunjukan kerangka kerja MP3EI.

Gambar-3: Kerangka Kerja MP3EI (Bappenas)

Gambar-3: Kerangka Kerja MP3EI (Bappenas)

Dari Gambar-3 dapat kita pahami bahwa kebijakan ekonomi Indonesia memiliki 3 pilar, yaitu: (i) Pilar pertama dengan konsep koridor ekonomi, dimana wilayah Indonesia dibagi menjadi 6 koridor ekonomi. Kebijakan ini menunjukan bahwa pengembangan ekonomi Indonesia difokuskan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam di masing-masing koridor. Harapan kami, pemerintah Indonesia mampu mengembangkan ekonominya berbasis potensi sampai dengan tingkat Kabupaten/Kota, yang akan diintegrasikan dalam masing-masing koridor; (ii) Pilar kedua fokus pada pembangunan infrastruktur fisik dan jaringan internet (TIK). Tentu pembangunan infrastruktur ini sangat penting, selain karena wilayah Indonesia yang sangat luas juga terdiri dari pulau-pulau, maka infrastruktur yang baik diharapkan mampu memfasilitasi aliran/distribusi barang dan informasi /pengetahuan, dari dan ke seluruh wilayah Indonesia dengan efektif; (iii) Pilar ketiga fokus kepada pembangunan sistem inovasi nasional serta pembangunan akademi komunitas di seluruh wilayah Indonesia. Pilar ini menunjukkan bahwa kebijakan ekonomi Indonesia sudah benar untuk fokus pada upaya menumbuhkan inovasi dengan memperkuat kemampuan (kompetensi) manusia Indonesia.

Integrasi antara kebijakan ekonomi berbasis sumber daya alam yang didukung oleh konsep ekonomi berbasis pengetahuan, sebaiknya lebih di eksplisitkan. Konsep MP3EI, perlu disempurnakan dengan dilengkapi oleh beberapa kebijakan berikut: (i) Pemerintah dan DPR mampu menghasilkan kebijakan dan regulasi nasional maupun lokal di masing-masing Kabupaten/Kota yang memiliki kemampuan untuk menciptakan iklim bisnis yang kondusif, yang mampu menstimuli dan melindungi industri lokal, khususnya bagi industri-industri pada tahap awal. (ii) Indonesia perlu fokus untuk mengembangkan pengetahuan yang dibutuhkan oleh setiap koridor dan bahkan Kabupaten/Kota. Untuk itu, Indonesia perlu fokus untuk mengembangkan kualitas dan kuantitas lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan, sehingga kualitas HDI (Human Development Index) Indonesia lebih baik, dan tentu sebaiknya mampu menyediakan pengetahuan/teknologi sesuai dengan kebutuhan pengembangan ekonomi di masing-masing koridor. (iii) Indonesia perlu melengkapi sistem inovasi di masing-masing koridor atau Kabupaten/Kota dengan lembaga-lembaga riset dan pengembangan (seperti perfecture di Jepang), sehingga inovasi yang tumbuh di masing-masing Kabupaten/Kota lebih mendasar, lebih berbasis pengetahuan/teknologi, sehingga mampu menciptakan nilai tambah dan daya saing masing-masing Kabupaten/Kota secara maksimal, serta tentunya akan lebih sulit untuk ditiru.

Bagaimana struktur yang ideal di masing-masing koridor ekonomi atau Kabupaten/ Kota? Idealnya, di masing-masing koridor atau khususnya di masing-masing Kabupaten/Kota perlu upaya yang keras untuk menumbuhkan kemampuan untuk menumbuhkan ekonomi regionalnya, dengan membangun konsep yang disebut Quadro Helix (Academic, Business, Governance and Community/ABGC), sebagai mana Gambar-4, yang menjelaskan hubungan saling melengkapi diantara 4 pelaku ekonomi regional tersebut.

Gambar-4: Quadro Helix untuk Kabupaten/Kota

Gambar-4: Quadro Helix untuk Kabupaten/Kota

Gambar-4 menjelaskan bahwa disetiap Kabupaten/Kota sebaiknya dikembangkan pola integrasi yang sinergistik antara 4 fungsi/peran lembaga ekonomi yang saling melengkapi, yaitu antara (i) Pemerintah Kabupaten/Kota (berfungsi dan bertanggung jawab untuk menciptakan iklim bisnis yang kondusif, melalui kebijakan dan regulasi ekonomi yang menstimuli dan sekaligus melindungi industri di wilayahnya serta integrasi antar Kabupaten/Kota di wilayah Koridor ekonominya), (ii) Universitas/lembaga riset (berfungsi dan bertanggung jawab untuk menciptakan pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan nilai tambah inovasi produk/proses di wilayahnya), (iii) Kelompok Industri (berfungsi dan bertanggung jawab untuk membangun industri produk/jasa yang menciptakan nilai tambah ekonomi wilayahnya); serta (iv) Kelompok Masyarakat atau Komunitas bisnis (berfungsi dan bertanggung jawab untuk menciptakan komunitas berbagi pengetahuan dan pengalaman di antara anggota komunitas).***

*di tulis oleh Prof. Dr. Jann Hidajat Tjakraatmadja yang merupakan Pengajar Knowledge Management di SBM dan juga Direktur Center of Knowledge for Business Competitivenes (CK4BC) serta Presiden Knowledge Management Society Indonesia (KMSI) serta Adityawarman, Mahasiswa Master Science in Management, School of Business Management ITB (SBM-ITB) Angkatan 2011

Di era pengetahuan saat ini, potensi sumber daya alam yang dimiliki sebuah negara tidak menjamin keberhasilan dalam menumbuhkan dan mengembangkan ekonominya secara berkelanjutan. Fakta menunjukan bahwa negara-negara yang mengembangkan ekonomi berbasis pengetahuan, memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi untuk menumbuhkembangkan ekonomi nasional yang berkelanjutan.

Finlandia dan Korea Selatan merupakan contoh dua negara yang berhasil mengembangkan ekonomi berbasis pengetahuan, sehingga pertumbuhan kinerja perekonomian mereka cukup signifikan, khususnya jika dibandingkan dengan negara-negara yang menggunakan ekonomi berbasis sumber daya alam, seperti Indonesia.

Pada awal 1990-an, Finlandia juga mengalami krisis ekonomi seperti negara-negara lain, namun mereka mampu belajar dengan cepat untuk memperbaiki kelemahan dan kesalahan kebijakan masa lalunya. Finlandia awalnya mirip Indonesia, termasuk negara yang menjalankan kebijakan ekonomi berbasis sumber daya alam, namun kemudian berhasil berubah menjadi negara yang menjalankan ekonomi berbasis pengetahuan. Nokia adalah perusahaan swasta yang mampu menjadi motor penggerak proses transisi negara Finlandia dari kebijakan ekonomi berbasis sumber daya alam menjadi negara dengan kebijakan ekonomi berbasis pengetahuan. Nokia yang semula memiliki bisnis utama dalam industri kayu dan pulp, kemudian mampu berubah haluan menjadi perusahaan dengan menumbuhkembangkan bisnisnya berbasis telekomunikasi (pengetahuan).

Contoh lain, Korea Selatan adalah negara dengan sumber daya alam yang miskin, dimana pada tahun 1960-an, Korea Selatan memiliki GDP yang sedikit dibawah GDP Indonesia. Untuk membangun ekonominya, Korea Selatan menerapkan strategi pengembangan ekonomi lima tahunan, mirip seperti Repelita di Indonesia. Pada tahun 1997-1998, Korea Selatan juga mengalami krisis ekonomi seperti di Indonesia, dan mampu menggunakan krisis ini sebagai tonggak untuk berubah, sehingga sejak tahun 2000-an, mereka mulai fokus dengan menggunakan kebijakan pengembangan ekonomi berbasis pengetahuan.

Sebenarnya apa itu kebijakan ekonomi berbasis pengetahuan? Jann Hidajat Tjakraatmadja, Presiden KMSI (Knowledge Management Society Indonesia) menyatakan bahwa sebuah negara menerapkan ekonomi berbasis pengetahuan apabila negara terebut menumbuhkembangkan ekonominya dengan menggunakan pengetahuan sebagai modal utama. Pengetahuan sebagai aset yang tidak berwujud (intangible asset), memiliki sifat sebagai sumber daya yang tidak terbatas dan terbarukan dan bisa dikembangkan; berbeda dengan sumber daya alam yang memiliki sifat terbatas serta banyak yang tidak bisa diperbaharui (non renewable). Negara yang menjalankan kebijakan ekonomi berbasis pengetahuan, mengandalkan pada masyarakat/penduduk yang berkualitas sebagai Modal Pembangunannya.

World Bank merumuskan konsep empat pilar yang dibutuhkan oleh sebuah negara untuk menumbuhkembangkan ekonomi berbasis pengetahuan, yaitu (i) Memiliki kebijakan dan regulasi untuk menstimulasi dan melindungi pertumbuhan ekonomi/industri dalam negeri, (ii) Memiliki sistem pendidikan dan pelatihan nasional yang unggul untuk menghasilkan manusia yang memiliki kompetensi untuk bekerja/menciptakan nilai tambah ekonomi dalam negeri, (iii) Memiliki strategi dan sistem inovasi nasional berbasis riset dan pengembangan (R&D), dan (iv) Memiliki teknologi informasi dan komputer (TIK) yang mampu memfasilitasi proses penyimpanan, penyebaran dan pemanfaatan pengetahuan/ informasi kepada seluruh masyarakat di wilayah negaranya.

World Bank juga mengembangkan konsep untuk mengukur kinerja ekonomi pengetahuan sebuah negara, yaitu KAM (Knowledge Assessment Method), yang utamanya terdiri dari indikator KI (Knowledge Index) dan KEI (Knowledge Economy Index).

Gambar-1 menunjukan informasi tentang indikator kinerja ekonomi Indonesia dibandingkan dengan Korea Selatan dan Finlandia. Gambar-1 menunjukkan bahwa Finlandia dan Korea Selatan merupakan negara yang sangat berhasil membangun ekonomi berbasis pengetahuan.

Gambar-1: KAM Indonesia, Finland dan Korea Selatan Tahun 2012 (World Bank)

Gambar-1: KAM Indonesia, Finland dan Korea Selatan Tahun 2012 (World Bank)

Jika kita analisis lebih jauh terhadap masing-masing komponen indikator kinerja ekonomi pengetahuan, menarik untuk diperhatikan bahwa nilai kinerja ekonomi pengetahuan Korea Selatan lebih rendah dari Finlandia khususnya dalam kinerja kebijakan insentif ekonomi. Dalam hal ini, Korea Selatan menerapkan kebijakan ekonomi untuk proteksi industri dalam negeri (tariff & nontariff barriers) yang lebih ketat, sehingga World Bank memberi nilai yang rendah dibandingkan dengan Finlandia. Artinya, pemerintah Korea Selatan menerapkan kebijakan proteksi terhadap industri dalam negerinya, untuk menjaga kelangsungan dan pertumbuhan industri lokalnya. Bagaimana dengan Indonesia?

Gambar-1 juga menunjukkan bahwa nilai kinerja ekonomi pengetahuan Indonesia relatif jauh tertinggal oleh Korea Selatan dan Finlandia, ini membuktikan bahwa ekonomi Indonesia lebih dominan dikembangkan dengan menggunakan kebijakan ekonomi berbasis sumber daya alam, dibandingkan dengan ekonomi berbasis pengetahuan.

Lebih lanjut penelitian World Bank menunjukan bahwa ada hubungan pengaruh antara nilai KEI sebuah negara terhadap GDP dari negara tersebut. Gambar-2 menunjukan bahwa makin besar nilai KEI sebuah negara, semakin besar pula GDP dari negara tersebut.

Gambar-2: KEI versus GDP (World Bank)

Gambar-2: KEI versus GDP (World Bank)

Indonesia ada pada kelompok negara dimana KEI dan GDP-nya masih rendah. Penjelasan di atas menyimpulkan bahwa untuk mempercepat pertumbuhan dan pengembangan ekonomi nasional, Indonesia perlu menyempurnakan strategi dan kebijakan pengembangan ekonominya. Pemerintah Indonesia perlu segera membuat pernyataan yang lebih eksplisit tentang implementasi kebijakan ekonominya dengan didukung oleh konsep kebijakan ekonomi berbasis pengetahuan. Agar proses pembangunan Indonesia lebih efektif dan efisien, untuk menumbuhkembangkan ekonomi Indonesia yang berkelanjutan, kita sebaiknya mampu mengoptimalkan potensi sumber daya alam Indonesia, dan dipercepat dengan dukungan konsep dan kebijakan ekonomi berbasis pengetahuan. Artinya, kebijakan ekonomi yang cocok untuk Indonesia adalah integrasi yang sinergistik antara kebijakan ekonomi berbasis sumber daya alam dengan ekonomi berbasis pengetahuan.

Mempelajari konsep pengembangan ekonomi Indonesia yang tertuang dalam dokumen MP3EI (Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia), kami menyimpulkan perlu ada penyempurnaan, yaitu pernyataan eksplisit tentang pentingnya dukungan yang konkret dari implementasi kebijakan ekonomi berbasis pengetahuan, sebagai strategi dan modal utama pembangunan. Gambar-3 menunjukan kerangka kerja MP3EI.

Gambar-3: Kerangka Kerja MP3EI (Bappenas)

Gambar-3: Kerangka Kerja MP3EI (Bappenas)

Dari Gambar-3 dapat kita pahami bahwa kebijakan ekonomi Indonesia memiliki 3 pilar, yaitu: (i) Pilar pertama dengan konsep koridor ekonomi, dimana wilayah Indonesia dibagi menjadi 6 koridor ekonomi. Kebijakan ini menunjukan bahwa pengembangan ekonomi Indonesia difokuskan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam di masing-masing koridor. Harapan kami, pemerintah Indonesia mampu mengembangkan ekonominya berbasis potensi sampai dengan tingkat Kabupaten/Kota, yang akan diintegrasikan dalam masing-masing koridor; (ii) Pilar kedua fokus pada pembangunan infrastruktur fisik dan jaringan internet (TIK). Tentu pembangunan infrastruktur ini sangat penting, selain karena wilayah Indonesia yang sangat luas juga terdiri dari pulau-pulau, maka infrastruktur yang baik diharapkan mampu memfasilitasi aliran/distribusi barang dan informasi /pengetahuan, dari dan ke seluruh wilayah Indonesia dengan efektif; (iii) Pilar ketiga fokus kepada pembangunan sistem inovasi nasional serta pembangunan akademi komunitas di seluruh wilayah Indonesia. Pilar ini menunjukkan bahwa kebijakan ekonomi Indonesia sudah benar untuk fokus pada upaya menumbuhkan inovasi dengan memperkuat kemampuan (kompetensi) manusia Indonesia.

Integrasi antara kebijakan ekonomi berbasis sumber daya alam yang didukung oleh konsep ekonomi berbasis pengetahuan, sebaiknya lebih di eksplisitkan. Konsep MP3EI, perlu disempurnakan dengan dilengkapi oleh beberapa kebijakan berikut: (i) Pemerintah dan DPR mampu menghasilkan kebijakan dan regulasi nasional maupun lokal di masing-masing Kabupaten/Kota yang memiliki kemampuan untuk menciptakan iklim bisnis yang kondusif, yang mampu menstimuli dan melindungi industri lokal, khususnya bagi industri-industri pada tahap awal. (ii) Indonesia perlu fokus untuk mengembangkan pengetahuan yang dibutuhkan oleh setiap koridor dan bahkan Kabupaten/Kota. Untuk itu, Indonesia perlu fokus untuk mengembangkan kualitas dan kuantitas lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan, sehingga kualitas HDI (Human Development Index) Indonesia lebih baik, dan tentu sebaiknya mampu menyediakan pengetahuan/teknologi sesuai dengan kebutuhan pengembangan ekonomi di masing-masing koridor. (iii) Indonesia perlu melengkapi sistem inovasi di masing-masing koridor atau Kabupaten/Kota dengan lembaga-lembaga riset dan pengembangan (seperti perfecture di Jepang), sehingga inovasi yang tumbuh di masing-masing Kabupaten/Kota lebih mendasar, lebih berbasis pengetahuan/teknologi, sehingga mampu menciptakan nilai tambah dan daya saing masing-masing Kabupaten/Kota secara maksimal, serta tentunya akan lebih sulit untuk ditiru.

Bagaimana struktur yang ideal di masing-masing koridor ekonomi atau Kabupaten/ Kota? Idealnya, di masing-masing koridor atau khususnya di masing-masing Kabupaten/Kota perlu upaya yang keras untuk menumbuhkan kemampuan untuk menumbuhkan ekonomi regionalnya, dengan membangun konsep yang disebut Quadro Helix (Academic, Business, Governance and Community/ABGC), sebagai mana Gambar-4, yang menjelaskan hubungan saling melengkapi diantara 4 pelaku ekonomi regional tersebut.

Gambar-4: Quadro Helix untuk Kabupaten/Kota

Gambar-4: Quadro Helix untuk Kabupaten/Kota

Gambar-4 menjelaskan bahwa disetiap Kabupaten/Kota sebaiknya dikembangkan pola integrasi yang sinergistik antara 4 fungsi/peran lembaga ekonomi yang saling melengkapi, yaitu antara (i) Pemerintah Kabupaten/Kota (berfungsi dan bertanggung jawab untuk menciptakan iklim bisnis yang kondusif, melalui kebijakan dan regulasi ekonomi yang menstimuli dan sekaligus melindungi industri di wilayahnya serta integrasi antar Kabupaten/Kota di wilayah Koridor ekonominya), (ii) Universitas/lembaga riset (berfungsi dan bertanggung jawab untuk menciptakan pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan nilai tambah inovasi produk/proses di wilayahnya), (iii) Kelompok Industri (berfungsi dan bertanggung jawab untuk membangun industri produk/jasa yang menciptakan nilai tambah ekonomi wilayahnya); serta (iv) Kelompok Masyarakat atau Komunitas bisnis (berfungsi dan bertanggung jawab untuk menciptakan komunitas berbagi pengetahuan dan pengalaman di antara anggota komunitas).***

*di tulis oleh Prof. Dr. Jann Hidajat Tjakraatmadja yang merupakan Pengajar Knowledge Management di SBM dan juga Direktur Center of Knowledge for Business Competitivenes (CK4BC) serta Presiden Knowledge Management Society Indonesia (KMSI) serta Adityawarman, Mahasiswa Master Science in Management, School of Business Management ITB (SBM-ITB) Angkatan 2011