Penulis kenamaan asal Bandung, Pidi Baiq, membagikan pengalaman kreatifnya saat menjadi pembicara dalam Business Talks and Tunes (BTT) yang digelar oleh SBM ITB di Conclave Bandung pada Jumat (23/5). Acara bertajuk “Step into the Spotlight: Where Business Meets Showmanship” dirancang untuk membekali mahasiswa SBM ITB dalam menghadapi dunia profesional.
Pidi Baiq, penulis yang dikenal luas melalui karya-karyanya seperti “Dilan” itu, membuka pembicaraan dengan refleksi pribadi tentang pentingnya Intellectual Property (IP). Ia mengaku bahwa pada awalnya ia tidak terlalu memikirkan soal IP.
Dulu Pidi hanya berpikir bahwa selesai menulis lalu mempublikasikan karya, maka berarti itu adalah miliknya sepenuhnya. Namun, pengalaman kurang menyenangkan mengubah pandangannya. Suatu ketika, partner dia mendaftarkan karya Pidi sebagai IP tanpa sepengetahuan dirinya.
“Sejak saat itulah saya sadar pentingnya IP dalam komersialisasi karya,” tambahnya.
Sementara Aditya Kusumapriandana, Co-Founder dan Komisaris of INFIA Group, yang hadir sebagai pembicara kedua, memperluas pemahaman mengenai IP dengan menjelaskan bahwa IP tidak hanya terbatas pada karya tulis atau produk fisik. IP bisa berarti suasana yang sengaja dibangun atau karakter yang dibuat.
“Bahkan warna yang dijadikan ciri khas pun bisa menjadi sebuah IP,” jelasnya.
Aditya menekankan bahwa untuk membangun bisnis IP yang kuat, kita perlu memahami perbedaan antara medium dan produk. Medium adalah sebuah jembatan untuk mengantarkan produk kita yang sebenarnya kepada customer. Sementara produk itu sendiri adalah sesuatu yang bersifat jangka panjang, dapat berkembang jauh dan meluas. Aditya mencontohkan salah satu produk IP-nya, Jakarta Sneaker Day.
“Kalau teman-teman berpikir bahwa produk yang saya jual adalah sneaker, maka itu masih keliru. Karena sneaker hanyalah mediumnya, sedangkan produk sebenarnya adalah lifestyle,” tegasnya.
Yang dijual melalui Jakarta Sneaker Day bukan hanya sepatu, melainkan keseluruhan gaya hidup. Mulai dari gaya berpakaian, musik, hiburan, hingga aksesori yang terhubung dengan budaya sneaker itu sendiri.
“Event dan sneaker ini hanya satu medium, produk sebenarnya adalah lifestyle,” lanjutnya.
Menjelang akhir sesi, Pidi Baiq membagikan pandangannya tentang proses kreatif dan bagaimana menciptakan karya yang tulus.
“Tipsnya sederhana, cukup mulai saja,” ucapnya.
Ia menilai bahwa terlalu banyak orang yang berpikir terlalu jauh sejak awal seperti memikirkan tentang pasar, keuntungan, dan berbagai pertimbangan lain padahal menurutnya, karya yang murni adalah karya yang dibuat dengan keinginan sederhana.
“Saya menulis, ya, karena saya ingin,” tambahnya.
Sementara itu, Aditya mengingatkan pentingnya membangun jaringan dan bekerja sama dalam mengembangkan karya dan bisnis.
“Menjadi pemain solo di masa kini sangat sulit dilakukan dan menghabiskan banyak tenaga,” ujarnya.
Ia juga menekankan bahwa kolaborasi seharusnya menjadi strategi utama, seperti yang dilakukan Pidi Baiq, yang fokus menciptakan karya, sementara partner-partnernya membantu dari sisi pemasaran dan bisnis.
“Kolaborasi adalah hal yang sebaiknya dilakukan agar nilai dari sebuah karya bisa tersebar lebih luas,” tutupnya.