Apakah negara berkembang seperti Indonesia akan terus menjadi pasar bagi produk‐produk inovatif global? Apakah negara berkembang  mampu menjadi produsen inovasi berkelanjutan? Dua pertanyaan tersebut menjadi pembahasan utama dalam plenary session International Conference on Management in Emerging Markets (ICMEM) 2025 yang digelar oleh SBM ITB di Bandung pada Selasa (20/8).

Dipandu oleh Helmy Yahya, sejumlah pakar seperti Prof. Shaker A. Zahra dari University of Minnesota, Assoc. Prof. Shane Mathews dari Queensland University of Technology dan Prof. Yos Sunitiyoso (SBM ITB sekaligus pejabat di Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi), membahas peluang inovasi berkelanjutan di negara berkembang di masa depan. Para pembicara membahas isu inovasi dari kacamata strategi bisnis, kebijakan publik, serta kesiapan ekosistem nasional.

Menuurut Prof. Zahra, keterbatasan yang dimiliki negara berkembang bukanlah penghalang, melainkan justru sumber energi untuk berinovasi dan melompat. Menurut dia, emerging markets adalah garis depan di mana masa depan inovasi berkelanjutan sedang dibentuk. 

Ia menegaskan pentingnya dynamic capabilities atau kapabilitas dinamis yakni kemampuan organisasi untuk bereksperimen, beradaptasi, dan mengubah arah ketika menghadapi ketidakpastian. Organisasi di pasar berkembang, lanjutnya, harus membangun fleksibilitas strategis supaya bisa bertahan sekaligus menghasilkan inovasi. Contohnya Afrika, tempat keterbatasan akses masyarakat terhadap bank tradisional malah memunculkan inovasi mobile banking. 

“Keterbatasan sering dilihat sebagai hambatan, padahal bisa menjadi katalis lompatan. Dari tanpa bank langsung menuju layanan digital dan ini bukti nyata bagaimana emerging markets dapat bergerak lebih cepat,” jelasnya. 

Ia menyimpulkan bahwa negara berkembang perlu memandang tantangan sebagai ruang inovasi, bukan sekadar kendala.

Sementara menurut Mathews, agar Indonesia mampu berkembang dengan Negara berkembang lainnya, kuncinya ada pada konsistensi kebijakan jangka panjang. China punya strategi yang konsisten yaitu mereka ingin menjadi pemimpin dunia di bidang kecerdasan buatan dan digitalisasi. Itu yang membuat perusahaan mereka seperti Baidu dan Huawei bisa jadi pemain global. 

“Indonesia juga punya peluang, tapi perlu strategi jangka panjang yang konsisten,” ungkapnya. “Kalau setiap pemilu kebijakan berubah, maka strategi tidak akan berkelanjutan. Padahal, inovasi butuh waktu panjang, 15–20 tahun.”

Vietnam menjadi contoh lain bagaimana konsistensi kebijakan bisa menarik investasi asing. Pemerintah Vietnam, katanya, berfokus membangun sektor industri dengan regulasi yang jelas dan stabil. Hasilnya, banyak perusahaan multinasional menjadikan Vietnam sebagai basis produksi.

“Kalau Indonesia ingin mengejar, maka harus bisa menciptakan kepastian serupa. Digitalisasi membuka akses pasar global, tapi semua itu akan sia-sia tanpa konsistensi,” tambahnya.

Sementara Yos Sunitiyoso menekankan perlunya sinergi antara universitas, industri, dan pemerintah atau yang ia sebut triple helix untuk mendorong inovasi berkelanjutan. 

“Kami di Kementerian sudah menyiapkan skema insentif agar riset universitas bisa langsung dimanfaatkan industri,” kata Yos.  “Indonesia punya potensi demografi besar, tapi tanpa konsistensi strategi, peluang ini bisa hilang.”

Ia menambahkan, strategi nasional tidak boleh hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi juga harus memasukkan aspek keberlanjutan. 

“ESG harus menjadi bagian dari strategi,” ucapnya.

Terkait bonus demografi yang dialami Indonesia, Prof. Zahra menekankan pentingnya investasi pada sektor pendidikan. 

“Bonus demografi hanya akan jadi berkah jika ada investasi serius pada pendidikan dan inovasi. Tanpa itu, justru pengangguran yang akan meningkat,” katanya.

Mathews menambahkan, generasi muda adalah aset. Tapi mereka butuh ekosistem yang mendukung. 

“Tanpa kesinambungan kebijakan, bonus demografi bisa hilang begitu saja.”

Yos mengingatkan bahwa Indonesia tidak boleh puas menjadi bangsa konsumen. “Pilihan ada di tangan kita : apakah kita mau jadi bangsa konsumen, atau produsen inovasi? Bonus demografi harus dijaga dengan arah strategi yang jelas dan berkesinambungan. 

Kontributor: Hartanti Maharani, Manajemen 2026