Dunia kerja tak lagi berjalan dalam garis lurus dan prediktif. Di tengah perubahan yang begitu cepat, pendekatan tradisional seperti Waterfall model mulai ditinggalkan karena sifatnya yang kaku dan tidak fleksibel. Hal ini menjadi salah satu fokus utama dalam sesi kuliah tamu bertajuk “Sprint to Success: Mastering Agile and OKRs in the Digital Age” di SBM ITB yang diisi oleh Lamhot Simamora, ex Billing and Collection Manager PT Telekomunikasi Indonesia (16/4).
Lamhot memperkenalkan “Agile” sebagai pendekatan baru untuk menghadapi ketidakpastian dan kompleksitas di dunia kerja modern. Berbeda dengan model Waterfall yang bersifat linear dan mengalir satu arah, Agile justru menekankan pentingnya iterasi, kolaborasi tim, dan fleksibilitas.
“Agile mengedepankan nilai-nilai seperti interaksi antar individu, kolaborasi dengan pelanggan, dan respons cepat terhadap perubahan,” ujarnya. “Nilai-nilai tersebut membuat Agile lebih dari sekadar metode, ia menjadi prinsip kerja yang menciptakan ruang untuk tumbuh dan berinovasi secara berkelanjutan.”
Namun di balik manfaatnya yang menjanjikan, implementasi Agile di banyak organisasi tidak semudah itu. Tantangan terbesarnya terletak pada budaya kerja yang sudah terlalu nyaman dengan sistem lama dan enggan dengan perubahan.
“Perubahan ini hanya bisa terjadi kalau pemimpinnya berani menetapkan arah baru,” jelas Lamhot. “Organisasi harus siap tidak hanya memperbaiki produknya, tapi juga memperbaiki proses dan manusianya.”
Sesi kuliah semakin menarik saat salah satu mahasiswa mengangkat tangan dan bertanya, “Apa sebenarnya why dari Agile? Kenapa harus berubah kalau sistem yang sekarang masih bisa jalan?”
Pertanyaan itu seketika memantik diskusi lebih mendalam. Lamhot menjawab bahwa Agile bukan sekadar ikut tren, melainkan jawaban atas kebutuhan zaman. Banyak bisnis telah membuktikan kesuksesan mereka dengan mengadopsi nilai-nilai Agile, dan justru dari situlah datang trigger untuk berubah.
“Valuenya adalah komponen utama yang harus ada dalam setiap bisnis,” tambahnya.
Agar pemahaman tidak berhenti di teori, Lamhot meminta mahasiswa untuk secara langsung menyusun backlog dari sebuah studi kasus. Ruangan seketika dipenuhi diskusi, dengan beragam jawaban dan argumen yang menunjukkan antusiasme mahasiswa. Simulasi ini membuat mahasiswa merasakan langsung bagaimana bekerja dalam kerangka Agile, bukan sekadar memahami konsepnya.
Lamhot juga mengajak mahasiswa menengok bagaimana perusahaan digital seperti Spotify membangun produk dan timnya menggunakan kerangka Agile. Konsep seperti Tribes, Chapters, dan Guilds menjadi cara Spotify mendorong inovasi, kolaborasi, serta rasa kepemilikan pada tim-tim kecil yang memegang tanggung jawab end-to-end atas bagian tertentu dari produk. Dalam proses pengembangannya, Spotify memiliki empat tahapan utama: Think It, Build It, Ship It, dan Tweak It, sebuah proses berulang yang memastikan produk selalu berkembang sesuai kebutuhan pengguna.
Tak hanya Agile, Lamhot juga membahas tentang Objectives and Key Results (OKR), metode penetapan tujuan yang membantu organisasi menyelaraskan fokus dan mengukur capaian secara konkret. Misalnya, objektif seperti “Menjadi coffee shop paling dicintai di Bandung” dapat dijabarkan ke dalam key results yang terukur, seperti “Meningkatkan followers media sosial sebesar 50% dalam 3 bulan.” Contoh seperti ini menunjukkan bagaimana tujuan besar bisa dipecah menjadi langkah-langkah nyata yang terarah dan dapat diukur progresnya.
Kuliah kali ini menanamkan kesadaran bahwa kesuksesan di era digital bukan hanya soal teknologi, tapi juga tentang cara berpikir dan bekerja. Adaptasi menjadi kunci. Kolaborasi dan kepemimpinan yang baik jadi fondasi. Dan tujuan yang jelas serta terukur adalah penuntun arah.
“Jangan hanya memperbaiki produk. Perbaiki juga orangnya dan prosesnya,” pesan Lamhot.