Studi menyatakan bahwa semakin populis suatu pemerintahan, semakin sulit pemerintahan tersebut untuk memenuhi janjinya. Kunci penting daripada pengelolaan suatu negara justru kolaborasi berkelanjutan oleh setiap insan bangsa. Demikian disampaikan Sudirman Said, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (2014-2016), dalam acara Human Capital Management Talks Sekolah Bisnis Manajemen Institut Teknologi Bandung di SBM ITB Jakarta, Gedung Graha Irama (24/4). 

Sudirman Said memperkenalkan sudut pandang The Fourth Sector Perspective dalam pengelolaan negara. The Fourth Sector Perspective ini merujuk ke pendekatan yang menekankan pada pasar dengan peran serta sektor privat yang bertujuan sosial dan lingkungan, sektor publik serta sektor non-profit untuk mengatasi permasalahan yang mendesak. Kerangka berfikir inilah yang melandasi berbagai ide dan gerakan seperti Perusahaan Sosial (social enterprise), Kemitraan Publik-Swasta (public rivate partnership) serta organisasi hibrida lainnya.

“Sustainability bukanlah soal kepemilikan, tetapi soal cara kita hidup. Bukan tentang aset atau modal tapi soal attitude, wisdom dan cara kita memandang kehidupan itulah yang mendorong kehidupan bersama. Karena kehidupan bersama tidak bisa dilihat hanya dari single dimension, tapi multidimension,” tutur Sudirman, yang kini menjabat Ketua Institut Harkat Negri, lembaga kajian, pendidikan, dan kaderisasi kepemimpinan lintas sektor. 

Sudirman mengangkat kisah inspiratif Prof. Kuntoro Mangkusubroto, pendiri SBM ITB, sewaktu mengabdi untuk melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh sebagai Kepala Badan Pelaksana BRR Aceh-Nias pada tahun 2005 usai salah satu gempa bumi terdahsyat tersebut meluluhlantakkan Aceh. Dengan kepribadian kolaboratif, Prof. Kuntoro Mangkusubroto mampu mengajak dan merangkul seluruh lembaga pemerintah, militer, lembaga swadaya masyarakat hingga berbagai sukarelawan dari tingkat nasional hingga internasional untuk bekerjasama untuk memulihkan daerah yang terkena dampak.

“Tanpa ada personality seperti Prof Kun yang memiliki sifat kolaborasi seperti itu, suasana pemulihan bencana di Aceh tidak akan sama. Kolaborasi inilah yang membuat suasana movement dan menjadi catatan penting bagi sejarah Indonesia,” tutur Sudirman.

Sudirman juga menceritakan pengalamannya saat melakukan reviatalisasi Kementerian ESDM. Kala itu dia membentuk Forum Kepemimpinan yang mengajak banyak pihak dari berbagai kalangan, seperti pemerintah, swasta, lembaga penelitan, dan universitas. Forum kepemimpinan ini diharapkan dapat menciptakan suasana yang cair dan bersahabat untuk mendorong kolaborasi yang konstruktif.

“Hasil dari pertemuan dalam Leaders Forum menghasilkan banyak sekali kegiatan kolaborasi. Hingga pada akhirmya confident level dari internal ESDM dan kepuasan konsumen hingga masyarakat luas meningkat,” tutur Sudirman.

Di akhir sesi, Sudirman menekankan pada kesadaran untuk membangun lembaga. Pentingnya membangun sistem, kebijaksanaan, jalan berpikir serta kepemimpinan yang berlandaskan nilai kolaboratif dan keberlanjutan. Dengan demikian, diharapkan cita-cita bangsa dapat muncul dan menyebar untuk kepentingan dan kebaikan bangsa.

Kontributor: Erwin Josua, EMBA 2021