Transformasi digital tidak lepas dari berbagai tantangan besar. Itu pula yang terjadi United Nations Environment Programme (UNEP), salah satu badan lingkungan hidup terbesar dunia. Saiful Ridwan, mantan Chief Enterprise Solutions UNEP membagikan pengalamannya memimpin transformasi digital di lembaga tersebut ketika berbicara di Expert Talk SBM ITB di Bandung (28/4).
Menurut Saiful, alumni Teknik Arsitektur Institut Teknologi Bandung, beberapa sistem internal UNEP masih menggunakan legacy systems yang tidak terintegrasi. Sumber daya digital seringkali terbatas karena dana proyek umumnya untuk tujuan spesifik dan tidak fleksibel untuk investasi jangka panjang.
Saiful menggarisbawahi, dalam sistem UN, tidak ada proyek yang berjalan secara tiba-tiba. Setiap inisiatif harus melalui proses perencanaan yang sangat teliti, melibatkan banyak diskusi lintas departemen dan negara, serta memerlukan konsensus yang matang.
Anggaran UN sendiri dibagi dalam beberapa kategori besar. Mayoritas (40–70%) untuk implementasi program, seperti pelatihan, bantuan teknis, dan distribusi hibah kepada mitra lokal. Sisanya (20–40%) digunakan untuk biaya personalia seperti gaji staf internasional, konsultan, serta tunjangan dan jaminan sosial.
Tantangan lain meliputi fragmentasi data dari berbagai sumber (pemerintah, satelit, lembaga riset). Kantor yang tersebar di berbagai negara juga punya infrastruktur teknologi yang bervariasi. UN juga kekurangan talenta digital seperti data scientist, serta kebutuhan untuk menjaga keamanan data lingkungan yang sensitif.
Namun, UNEP berhasil merancang solusi inovatif yang menjadi model bagi lembaga internasional lainnya. Mereka membangun Integrated Data Platform yang memungkinkan integrasi dan visualisasi data lingkungan secara real-time, serta mengembangkan AI-powered analytics seperti alat prediksi deforestasi dan observatorium emisi metana global. UNEP juga memperkenalkan otomasi proses internal seperti e-signature, dashboard kinerja, dan pelacakan perjalanan dinas secara digital dalam upaya menciptakan paperless secretariat yang efisien.
Keberhasilan ini tak lepas dari kolaborasi erat dengan mitra teknologi global serta penerapan teknologi mutakhir seperti cloud computing, big data, machine learning, dan geospasial. Lebih dari sekadar teknologi, transformasi ini juga menuntut perubahan budaya kerja. UNEP menginisiasi program literasi digital untuk seluruh staf, menciptakan jabatan baru di bidang data, serta menyelaraskan indikator kerja individu dengan target digitalisasi organisasi.
Saiful menegaskan bahwa digitalisasi di organisasi internasional seperti UNEP bukanlah proyek jangka pendek, melainkan perjalanan strategis yang memerlukan kepemimpinan visioner, sinergi antarunit, dan keberanian untuk berubah. Ia kemudian mengajak generasi muda Indonesia untuk aktif mengambil peran dalam sistem PBB, khususnya dalam bidang teknologi dan keberlanjutan, demi menghadirkan suara Indonesia di panggung global.
Indonesia menurut Saiful, masih termasuk negara yang underrepresented dalam sistem Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Ini menjadi tantangan sekaligus peluang, sebab kehadiran profesional asal Indonesia di UN akan memperkuat suara negara berkembang dalam pengambilan keputusan global.