Para pendiri perusahaan rintisan alias startup selalu menghadapi berbagia tantangan. Mulai dari keterbatasan sumber daya, kegagalan ide bisnis, hingga kesepian emosional. Namun menurut Jezzie Setiawan, founder dari platform fintech GandengTangan, pendiri akan sukses jika punya daya tahan (resiliensi). 

Jezzie mengatakan resiliensi adalah kualitas penting yang harus dimiliki seorang leader. Resiliensi menentukan kelangsungan hidup sebuah perusahaan, bahkan lebih penting dibandingkan kepercayaan diri atau motivasi awal.

Jezzie membagikan pengalamannya tersebut saat mengisi kuliah tamu  Business Risk Venture Capital bertajuk “The Harsh Realities” di SBM ITB pada Rabu (14/5). Sebagai seorang pebisnis yang berfokus pada sektor Peer-to-Peer (P2P) Lending dan embedded financing, Jezzie membagikan pengalaman pribadinya membangun bisnis berbasis teknologi finansial di tengah berbagai tekanan dan keterbatasan.

Dalam mengembangkan bisnis, Jezzie telah membuat banyak sekali percobaan, bahkan dia mampu mempertahankan bisnisnya di masa pandemi Covid-19 dengan strategi bisnisnya. Namun, di balik strategi bisnis yang inovatif, terdapat tantangan personal yang sering kali luput dari perhatian publik. 

Dalam paparannya, Jezzie menyoroti berbagai “harsh realities” yang dihadapi para pendiri startup. Pertama, ketidakpastian menjadi musuh utama. 

“Tak ada kepastian di dunia ini, apalagi saat membangun sesuatu dari nol,” ungkapnya.

Kedua, keterbatasan sumber daya dan tekanan kompetisi membuat keputusan menjadi lebih berat dan penuh risiko. Ketiga, kesepian sering kali menjadi beban emosional yang besar bagi seorang founder. Tidak ada tempat untuk menunjukkan keraguan, bahkan saat keadaan memburuk. Terakhir, kegagalan adalah keniscayaan. 

“Not all ideas win. Kegagalan bukan akhir, tapi pelajaran,” ujarnya.

Menurut Jezzie, momen paling kritis bagi sebuah startup adalah ketika sang pendiri kehilangan energi dan merasa perjuangannya tidak lagi sepadan. Jezzie menjelaskan bahwa banyak startup tumbang bukan karena model bisnis yang buruk, melainkan karena mental dan fisik founder yang kehabisan tenaga dan harapan.

“Di titik itu, di mana founder merasa tidak lagi worth untuk berjuang, maka perusahaan bisa saja berhenti. Bukan karena idenya buruk, tapi karena foundernya menyerah,” tegasnya.

Dalam menghadapi segala tekanan tersebut, Jezzie menekankan bahwa satu hal yang membedakan mereka yang bertahan dari yang tumbang adalah resiliensi. Resiliensi lebih penting dari kepercayaan diri. 

“Karena dari resiliensi, kita bisa membentuk kepercayaan diri yang sejati,” katanya.

Dia membantah stereotip bahwa hanya orang dengan kepribadian tertentu yang bisa sukses di dunia startup. Stereotip tentang personaliti founder itu menurut dia menyesatkan. 

“Tidak ada kepribadian tunggal yang menjamin kesuksesan.” tambahnya

Dia juga menekankan bahwa motivasi awal seringkali berubah seiring waktu. Yang penting justru minat mendalam terhadap masalah yang ingin diselesaikan, serta koneksi emosional dengan tim kerja. Inilah fondasi jangka panjang yang harus dimiliki seorang pendiri.

Dalam menghadapi tantangan tersebut selain resiliensi, dia juga menyebut bahwa seseorang yang mempunyai pengalaman di startup bisa menjadi career booster untuk kehidupan di masa depan, karena basic pemikiran dan mentalnya sudah teruji. Founder atau mantan pendiri biasanya lebih dihargai di dunia kerja. 

“Karena terbiasa menyelesaikan masalah nyata, mengambil risiko, dan mengelola keterbatasan,” jelasnya.

Sebagai penutup, ia mengajak mahasiswa untuk merefleksikan konsep dari Jepang bernama IKIGAI, sebuah filosofi tentang menemukan makna hidup melalui keseimbangan antara apa yang disukai, dibutuhkan dunia, keahlian yang dimiliki, dan hal yang bisa memberikan nilai ekonomi. Pesannya, para pelaku dan calon pendiri startup perlu mengetahui bahwa membangun bisnis bukan tentang siapa yang paling cepat sukses, melainkan siapa yang paling kuat dan konsisten menghadapi kegagalan, kesepian, dan tekanan.

“Resiliensi bukan bawaan lahir—ia dibentuk melalui proses yang panjang, jatuh-bangun, dan penuh makna,” tutupnya.

Kontributor: Dio Hari Syahputra, Management 2026