Manusia telah berevolusi dari zaman prasejarah hingga sekarang sampai berdampingan dengan robot. Evolusi ini mencerminkan perubahan besar dalam struktur pekerjaan akibat perkembangan teknologi dan ekonomi. Lantas, apakah transformasi struktural ini telah terjadi di Indonesia?
Labor Market Specialist Kementerian Ketenagakerjaan, Putri Riswani Halim, saat mengisi kuliah umum program MBA ITB pada Ahad (18/5) mengatakan tranformasi ketenagakerjaan di Indonesia belum optimal. Transisi ketenagakerjaan Indonesia melompat dari sektor agrikultur langsung ke jasa, tanpa mengkhatamkan sektor manufaktur terlebih dahulu. Hal ini menimbulkan dampak yang signifikan sebab terjadi ketimpangan yang tinggi dalam sektor jasa, karena sektor jasa memiliki ragam pekerjaan dengan perbedaan penghasilan yang tajam.
“Perbedaan jenis jasa ini sangat menimbulkan ketimpangan, ambil saja contoh orang yang ahli di bidang IT dengan asisten rumah tangga (ART). Mereka sama-sama menyediakan jasa, tetapi output yang mereka dapatkan sungguhlah berbeda,” kata Putri.
Ketimpangan tersebut menjadi tantangan besar yang harus diatasi oleh negara Indonesia. Indonesia, menurut Putri, tidak akan bisa melompat lebih tinggi ketika ketimpangan antar wilayahnya sangatlah tinggi.
“Ketika suatu negara mencoba bertransformasi ke manufaktur, maka ketimpangan pada negara tersebut bisa turun. Sedangkan, jika pada sektor services, pattern-nya tidak sejelas di manufacturing, terkadang muncul equality dan inequality yang sangat tinggi ataupun rendah,” ungkapnya.
Dia juga menjelaskan bahwa struktur ketenagakerjaan di kota-kota besar seperti Jakarta didominasi sektor jasa, dengan employment share di atas 80%. Namun, upah yang diterima pekerja sangat bervariasi, mulai dari teknisi IT hingga pekerja informal seperti petugas kebersihan. Sementara itu, provinsi seperti Papua masih bergantung pada sektor pertanian (agrikultur) meskipun memiliki sumber daya alam yang melimpah seperti tambang emas.
Di Papua, industri belum mampu menyerap tenaga kerja lokal secara optimal, sehingga mayoritas tetap bekerja di sektor pertanian. Ini menunjukkan pekerjaan rumah besar dalam menyelaraskan pembangunan ekonomi dengan kapasitas sumber daya manusia lokal yang mengartikan terdapat gap yang cukup besar dalam keselarasan atau kesamaan wilayah, itulah yang menjadi fokus dalam riset yang dibawakan.
Putri juga menyoroti sebagian besar provinsi di Indonesia saat ini belum berfokus pada manufaktur. Bahkan provinsi yang memiliki kawasan industri seperti Kepulauan Riau justru menunjukkan dominasi sektor jasa. Dia menyebut bahwa Kep. Riau sempat berada di tahap developed (maju), namun seiring perubahan struktur tenaga kerja, statusnya kembali ke developing (berkembang). Menurut Putri, kebijakan nasional harus mencerminkan keunikan ekonomi setiap daerah.
“Setiap daerah memiliki kondisi ekonomi dan kapasitas tenaga kerja yang berbeda. Kita tidak bisa memaksakan pembangunan industri ke wilayah yang secara struktural masih berbasis agrikultur. Yang perlu dilakukan adalah mengembangkan potensi tersebut, misalnya dengan mendorong green agriculture dan pertanian berkelanjutan,” jelasnya.
Menurut Putri, pekerja bukan hanya sebagai tenaga kerja, tapi juga sebagai konsumen. Pemahaman ini juga penting bagi para pelaku bisnis di suatu daerah.
“Memahami siapa pekerja kita berarti memahami siapa pasar kita. Strategi bisnis harus dibangun di atas pemahaman ini,” kata dia.
Putri menekankan bahwa Indonesia memerlukan reindustrialisasi untuk keluar dari jebakan transformasi prematur. Namun hal itu tidak dapat terjadi tanpa revolusi institusi yang mendahuluinya.
“Transformasi struktural hanya bisa berhasil jika dibangun dengan sistem yang kokoh dan kebijakan yang tepat sasaran,” tegasnya.