Branding dan pemasaran seringkali dianggap sebagai dua hal yang sama. Namun sebenarnya keduanya berbeda tapi tetap saling melengkapi. Pemasaran mendapatkan tujuannya dari branding. Sementara branding menemukan suaranya melalui pemasaran Mengusung tema “Design as Strategy: Rethinking Branding for the MBA Mindset”, Riky A. Siswanto, dosen Studi Komunikasi Visual Universitas Telkom, berkesempatan mengisi kuliah tamu di SBM ITB pada Sabtu (24/5). Kuliah tamu tersebut memberikan wawasan berharga tentang bagaimana persepsi membentuk branding, jauh melampaui sekadar logo, dan mengubahnya menjadi kekuatan strategis dalam bisnis.
Riky mencontohkan bagaimana logo berperan penting dalam dunia bisnis. Ketika kita memikirkan merek-merek ternama, logo mereka mungkin yang pertama terlintas di pikiran. Namun branding yang sesungguhnya jauh lebih dalam dari itu.
Branding menguasai ruang mental konsumen, bagaimana sebuah merek menjadi pilihan utama dalam benak mereka. Merek yang kuat tidak hanya ada pada label produk; ia hidup dalam asosiasi bawah sadar, emosi, dan loyalitas audiens.
Untuk memahami branding, kata Riky, kita harus membedakan antara ekuitas merek dan identitas merek. Ekuitas merek adalah daya tarik intangible—bagaimana konsumen memandang, merasakan, dan terhubung dengan suatu merek. Inilah alasan orang rela mengantri untuk produk-produk tertentu meskipun ada alternatif yang lebih murah. Di sisi lain, identitas merek adalah wajah nyata dari ekuitas ini: logo, warna, kemasan, bahkan elemen sensorik seperti rasa dan aroma (terutama di industri makanan dan minuman).
“Kopi bisa dianggap hanya sebagai komoditas. Namun merek kedai kopi ternama tidak hanya menjual kopi. Mereka mungkin juga menjual suasana, komunitas, dan rasa memiliki. Daya tarik emosional inilah yang merupakan wujud nyata dari ekuitas merek,” tutur Riky.
Mengukur ekuitas merek bukan hal yang sederhana, tetapi dampaknya tidak terbantahkan. Merek-merek sukses mengidentifikasi nilai unik mereka dan menyelaraskannya dengan kebutuhan pasar, menumbuhkan karakter khas yang menonjol. Di kondisi pasar saat ini, diferensiasi tidak hanya tentang fitur tetapi juga tentang makna.
Sudah lewat masanya ketika produk hanya berupa benda fisik. Sekarang, mereka bisa berupa layanan (Netflix), pengalaman (Disney), atau bahkan gagasan (misi keberlanjutan Tesla). Tantangan bagi merek adalah menyeimbangkan inovasi dengan konsistensi dan berevolusi untuk tetap relevan sembari mempertahankan identitas inti.
Menurut Riky, desain bukan sekadar tentang estetika. Ia adalah alat strategis yang membentuk identitas dan membuat merek dapat dipasarkan. Bahasa visual yang dirancang dengan baik, ketika diterapkan secara strategis, dapat mengangkat merek dari yang biasa menjadi ikonik.
Di dunia di mana konsumen dibombardir dengan pilihan, branding bukan hanya bagian dari strategi. Menurut Riky, ia adalah strategi itu sendiri. Dan desain adalah cara paling ampuh untuk menjalankannya. Seperti yang ditekankan Riky, merek yang berkembang adalah mereka yang menguasai interaksi antara persepsi, identitas, dan desain strategis.