Mahasiswa Program Studi Kewirausahaan SBM ITB berkesempatan belajar langsung dari Muhammad Adzwin Perwira Putra membangun Walts Wallet Goods, brand produk dompet dan aksesoris asal Bandung. Dalam kuliah tamunya pada Selasa (5/8),  Adzwin membahas perjalanan bisnis dan strateginya menemukan produk yang pas dengan selera pasar (product market fit).

Mulanya Adzwin menjual celana custom sejak 2012 atau ketika masih kuliah semester satu. Ia memanfaatkan tren yang sedang populer saat itu serta kebutuhan teman-temannya. 

Namun, tanpa merek dan pembeda yang jelas, bisnis tersebut sulit berkembang. Dari pengalaman itu, ia belajar pentingnya membangun brand.

Maka pada 2015 ia mendirikan Wallts Wallet Goods, sebuah brand yang menjual dompet berbahan kanvas sebagai alternatif berbeda dari dompet berbahan kulit yang umum di pasaran. Meski memiliki keunikan, Wallts diluncurkan tanpa riset dan data pendukung. Hal ini membuat bisnis kesulitan mendapatkan pesanan berulang (repeat order), karena dompet merupakan produk yang jarang diganti oleh konsumen.

Perbaikan dilakukan pada 2016, ketika ia menyadari bahwa Wallts membutuhkan faktor pembeda (unique selling proposition/ USP). Ia kemudian menemukan ide bahwa dompet Wallts dapat diposisikan sebagai produk yang cocok dijadikan kado. Dengan mengubah kemasan dan mengajak konsumen membeli tidak hanya untuk diri sendiri tetapi juga sebagai hadiah, penjualan dan repeat order pun meningkat. Menurutnya, USP merupakan elemen krusial bagi keberlangsungan sebuah bisnis.

Beberapa tahun berjalan, tren mulai berubah. Ia menyadari bahwa jika Wallts terus menjual produk yang sama, bisnis berisiko stagnan dan kehilangan pelanggan. Terlebih, ia melihat masyarakat semakin jarang membawa dompet karena pembayaran digital semakin populer.

Pada 2023 Wallts melakukan riset. Hasilnya menunjukkan bahwa 42 persen tenaga kerja di Indonesia merupakan pekerja formal. Berdasarkan validasi data terhadap produk yang telah dijual, yaitu dompet dan lanyard, rupanya penjualan lanyard melebihi dompet. Berdasarkan data tersebut, Wallts kemudian mempersempit target pasar menjadi pekerja kantoran, khususnya mereka yang baru memulai karier.

Penemuan dari riset ini mendorong Wallts pada 2024 untuk melakukan shifting menjadi organizer brand yang menemani pekerja kantoran. Segmentasi, target, dan positioning pun semakin jelas. 

Menurut Adzwin ini  merupakan hal penting dalam menemukan product market fit. Ia menekankan bahwa product market fit tidak cukup hanya dengan membuat produk dan membedakannya dari kompetitor, tetapi harus melalui proses memahami pasar, melakukan segmentasi, menentukan target, dan membangun penempatan (postioning) yang kuat.

Menurut Adzwin, sebagai calon pengusaha, mahasiswa kewirausahaan perlu fokus menemukan product market fit, bukan sekadar membuat produk atau mencari pembeda. Sebab bisnis yang sudah berjalan pun bisa saja berganti target atau segmentasi, sehingga penting untuk terus mematangkan dan benar-benar memahami siapa pasar yang dituju, terutama di tahap awal merintis bisnis.

Kontributor: Seren Ernelya, Kewirausahaan 2026