Professor Shaker Zahra dari University of Minnesota menantang paradigma pertumbuhan ekonomi konvensional yang hanya berfokus pada produk domestik bruto (PDB). Berbicara di The 9th International Conference on Management in Emerging Markets (ICMEM) yang diselenggarakan oleh SBM ITB di Bandung (20-21/8), Zahra menegaskan yang dibutuhkan saat ini adalah pertumbuhan yang mengutamakan inklusi, ketahanan, dan keadilan. Inovasi teknologi yang terus berkembang juga harusnya mengusung semangat inklusi, tidak hanya memperluas skala ekonomi.

“Inovasi bukan hanya tentang teknologi, tetapi juga tentang masyarakat, inklusi sosial, dan ekonomi. Tujuannya adalah untuk memecahkan tantangan nyata dan lokal, bukan sekadar memperluas skala teknologi,” ujar Prof. Zahra di hadapan para akademisi, praktisi bisnis, dan pembuat kebijakan. Prof. Zahra menekankan bahwa prinsip Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (ESG) bukan lagi sebuah pilihan bagi perusahaan dan negara di pasar berkembang, melainkan sebuah keharusan strategis. “Bagi pasar berkembang, ESG adalah hal yang strategis, bukan opsional”, tegasnya.

Ia menjelaskan bahwa investor global semakin memprioritaskan kinerja ESG dalam pengambilan keputusan, kerangka kerja ESG yang kuat dapat mengurangi risiko dan meningkatkan nilai jangka panjang, serta konsumen yang lebih memilih merek dengan integritas sosial dan lingkungan. Zahra menyingung solusi transformatif lainnya yaitu ekonomi sirkular (circular economy). Model ini mendobrak sistem tradisional “ambil-pakai-buang” dengan memperkenalkan pendekatan regeneratif di mana sumber daya terus digunakan selama mungkin melalui proses menolak (refuse), mengubah (reform), mengurangi (reduce), menggunakan kembali (reuse), dan mendaur ulang (recycle). Untuk mencapai hal ini, Prof. Zahra menyoroti peran penting para pemimpin dan institusi dalam membentuk masa depan yang berkelanjutan.

Ia menggarisbawahi beberapa langkah strategis, salah satunya adalah investasi pada Manusia (People), Planet, dan Produktivitas (3P) yang berfokus pada pendidikan untuk pekerjaan hijau dan digital, mendukung usaha kecil dan menengah dengan model bisnis berkelanjutan, dan mengembangkan perencanaan kota yang inklusif. Sebagai inspirasi, ia mencontohkan beberapa negara berkembang yang telah menjadi pemimpin, termasuk Indonesia dengan rencana kota-kota cerdas dan hijau, India dengan Misi Surya Nasionalnya, dan Rwanda yang unggul dalam inovasi teknologi kesehatan inklusif. “Tantangan kompleks menuntut solusi multi-pihak.

Tidak ada satu faktor pun, baik itu pemerintah, bisnis, maupun masyarakat sipil, yang bisa berhasil sendirian. Pertumbuhan berkelanjutan membutuhkan aksi kolektif yang didasari oleh kepercayaan, transparansi, dan visi bersama”, ujarnya. Pidato ini memberikan perspektif baru bahwa keberlanjutan dan inovasi adalah mitra yang saling menguatkan, bukan pilihan yang harus dipertukarkan. Bagi pasar berkembang, ini adalah jalan strategis untuk membangun ekonomi yang tangguh, adil, dan kompetitif di pasar global.

Kontributor: Cindy R. Meilynda, MSM 2024