Para pelaku industri di Indonesia terus berupaya membangun industri mereka secara berkelanjutan. Mulai dari Pertamina yang bergerak di sektor energi hingga Bobobox yang bermain di bisnis hospitality. Namun semua upaya tersebut perlu kolaborasi dari pemerintah, pelaku usaha, hingga bank sentral.

Hadir sebagai pembicara dalam panel diskusi dengan tema keberlanjutan industri Indonesia di International Conference on Management in Emerging Markets (ICMEM) 2025 yang diselenggarakan oleh Sekolah Bisnis Manajemen Institut Teknologi Bandung di Bandung (21/8), Direktur Transformasi dan Keberlanjutan Bisnis PT Pertamina (Persero) Agung Wicaksono, menekankan pentingnya bagi perusahaan besar seperti Pertamina untuk menerapkan strategi ganda, yaitu sebagai BUMN energi sekaligus entitas bisnis. 

Menurut Agung, Pertamina berusaha memaksimalkan bisnis legacy-nya dari hulu hingga hilir baik dalam energi minyak serta gas. Untuk saat ini, Pertamina sedang bertransformasi menuju energi rendah karbon. Salah satu fokusnya adalah energi geothermal yang dikembangkan melalui Pertamina Geothermal Energy (PGEO).

Namun demikian, kata Agung, Pertamina tak lupa berkolaborasi dengan UMKM. Pertamina memberdayakan ekonomi masyarakat secara berkelanjutan, misalnya melalui program pengolahan minyak jelantah menjadi biofuel bersama startup lokal, serta pemanfaatan uap panas bumi untuk mendukung industri kecil seperti produksi kopi dan jamur. Program Desa Energi Berdikari juga digagas oleh Pertamina untuk mendorong kemandirian energi berbasis surya maupun mikrohidro pada beberapa desa di Indonesia.

Sementara itu, Bobobox COO Bayu Ramadhan memaparkan bagaimana bisnis hospitality dapat mengintegrasikan prinsip keberlanjutan dengan bermitra oleh UMKM sekitar dalam penyediaan makanan, aktivitas wisata, hingga kebutuhan operasional bahkan lebih dari 50% karyawannya merupakan asli masyarakat sekitar. Dia menjelaskan dalam bisnis hospitality, sebenarnya permasalahan utamanya yaitu berasal dari regulasi pemerintah dan persepsi bahwa praktik keberlanjutan selalu dikaitkan dengan biaya tinggi.

Adapun pengusaha sosial seperti Tri Buana Desy Arianty menyoroti masalah sosial yang ada di pedesaannya, yaitu Magelang. Terdapat 2.000 kasus perkawinan anak di bawah umur di daerahnya. Dia menilai hal tersebut terjadi karena tingkat pendidikan orang tua yang kurang serta rendahnya tingkat ekonomi di keluarga tersebut.

Di Magelang, Desy berhasil mengangkat harkat perempuan yang berprofesi sebagai perajin bambu. Dulunya mereka hanya mendapat Rp1 000 per keranjang. Kini, lewat inovasi produk bambu berkelanjutan, mereka tidak hanya meraih penghasilan lebih layak, tetapi juga turut melestarikan warisan budaya. Bagi Desy, keberlanjutan sejatinya bukan sekadar menjaga alam, melainkan juga manusia, karena hanya lewat pemberdayaan, masyarakat mau berubah dan ekosistem bisa benar-benar berkembang.

Ekonom Senior Bank Indonesia Muslimin Anwar menambahkan, peluang industri berkelanjutan di Indonesia masih besar, terutama dengan memberdayakan lebih banyak UMKM. Menurut Anwar, Bank Indonesia berkomitmen untuk membantu melalui kebijakan makroprudensial, termasuk kewajiban penyaluran kredit 30% ke UMKM, penurunan reserve requirement, hingga perluasan sistem pembayaran digital QRIS yang kini digunakan oleh lebih dari 57 juta pengguna dan 39 juta merchant. Bahkan, QRIS dapat dipakai lintas negara seperti Malaysia, Singapura, Jepang, bahkan China.

Diskusi panel ICMEM 2025 menegaskan bahwa perusahaan besar, UMKM, hingga usaha sosial harus bersinergi dalam membangun keberlanjutan. Pertamina menyiapkan transisi energi, Bobobox menunjukkan model circular economy, sementara Desy menekankan pentingnya pemberdayaan masyarakat. Adapun Bank Indonesia membuat kebijakan yang dapat menopang perkembangan UMKM. Semua bergerak menuju tujuan bersama, mencapai ekonomi hijau, inklusif, dan berkelanjutan bagi Indonesia.

Kontributor: Dio Hari Syahputra, Manajemen 2026