Masyarakat kerap menilai Generasi Z sebagai generasi yang enggan bekerja keras. Namun menurut Professor Hazel Gruenewald, Visiting Professor of Organizational Behaviour dari Hochschule Reutlingen, anggapan tersebut keliru. Menurutnya, Gen Z bukan takut bekerja, melainkan tidak menyukai pekerjaan yang dianggap tidak bermakna. 

Demikian menurut Hazel saat menjadi pembicara pada seminar bertajuk “Building Purpose-Driven Work Culture for Gen Z Engagement” dalam acara Human Capital Management Talks 2nd Series 2025 yang digelar oleh Sekolah Bisnis Manajemen Institut teknologi Bandung (SBM ITB) di Bandung (27/8), yang dimoderatori oleh pengajar SBM ITB, Dr. Andika Putra Pratama.  

Prof. Hazel menekankan bahwa Gen Z bukanlah kelompok yang seragam. Perspektif mereka sangat beraneka ragam, dipengaruhi oleh latar belakang sosial-ekonomi, pendidikan, dan pengalaman individu. 

Namun menurut Hazel, salah satu nilai utama yang dijunjung tinggi Gen Z adalah etika perusahaan. Data menunjukkan sekitar 50% Gen Z menjadikan etika sebagai faktor penting dalam memilih perusahaan. Hazel menegaskan, perusahaan harus konsisten dalam menjunjung nilai yang diyakini.

“Keaslian adalah hal yang sangat penting. Gen Z tidak ingin sekadar mendengar apa yang perusahaan yakini, mereka ingin melihat bagaimana keyakinan itu diwujudkan dalam tindakan nyata. Itulah strategi membangun kepercayaan,” ujarnya.

Selain etika, kesejahteraan atau well-being juga menjadi perhatian besar. Lebih dari 55% Gen Z menyatakan peduli terhadap aspek ini. Karena itu, menurut Hazel, keberagaman, kesetaraan, dan inklusi (DEI) tidak boleh berhenti pada program pelatihan, tetapi harus benar-benar tertanam dalam budaya organisasi.

Untuk menjawab kebutuhan ini, Hazel menekankan pentingnya membangun budaya kerja yang berorientasi pada tujuan (purpose-driven). Perusahaan, menurutnya, perlu mengadopsi cara kerja baru dengan menumbuhkan budaya digital, mendorong pembelajaran berkelanjutan, memanfaatkan teknologi, serta menanamkan pola pikir berkembang. 

Lebih lanjut, Hazel juga menyoroti perbedaan cara kerja antara Gen Z dan Millennial. Gen Z dinilai lebih nyaman dengan proyek-proyek kecil yang memungkinkan mereka mengembangkan keterampilan seperti creative thinking dan digital fluency.  Namun, generasi ini memiliki rentang perhatian yang relatif singkat dan kerap menyelesaikan pekerjaan terlalu cepat tanpa memperhatikan kualitas.

“Penting bagi perusahaan untuk mendorong mereka mengajukan pertanyaan kritis, mengambil langkah kecil namun konsisten, serta berani membawa ide-ide baru ke meja diskusi,” pungkas Hazel.

Melalui pendekatan ini, perusahaan tidak hanya mampu menarik Gen Z, tetapi juga menjaga retensi karyawan. Dengan memberikan ruang untuk fleksibilitas, otonomi, dan pengembangan diri, Gen Z akan lebih cenderung bertahan di perusahaan yang sejalan dengan nilai mereka.

Kontributor: Hansen Marciano, Manajemen 2025