Sebagai perusahaan energi milik negara, PT PLN (Persero) punya prosedur panjang dalam melahirkan produk baru. Proses komersialisasi produk PLN, menurut Vice President Komersialisasi Produk Niaga PT PLN (Persero) Ronny Afrianto, diawali dari tahap digitalisasi dan pengembangan sistem frontend, kemudian dilanjutkan dengan penyusunan Nota Dinas (ND), dokumen kebijakan, serta koordinasi implementasi dengan unit terkait.

“Produk yang diluncurkan harus melewati Kajian Kelayakan Proyek (KKP), termasuk pemenuhan standar seperti payback period. Produk yang tidak menguntungkan secara bisnis tidak akan dirilis,” kata Ronny saat mengisi kuliah tamu Business Economics untuk program Magister Administrasi Bisnis (MBA) Young Professional program SBM ITB di Bandung (30/4).  

Dalam sesi ini, Ronny membahas strategi pemasaran energi terbarukan dan inovasi produk niaga PLN yang mendukung transisi energi nasional. Menurut Ronny, salah satu fokus PLN adalah pengembangan infrastruktur kendaraan listrik (EV) melalui perluasan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU). PLN berbagai skema kemitraan berbasis revenue sharing melalui PLN Mobile sehingga dapat menguntungkan pihak PLN dan mitra dengan kebutuhan yang menyesuaikan.

Menurut Ronny, pengembangan produk PLN kini telah beralih dari pendekatan supply-driven menjadi demand-driven, agar lebih responsif terhadap kebutuhan pelanggan. Strategi ini juga sejalan dengan inisiatif Moonshoot Transformasi 2.0, yang mengklasifikasikan produk dalam tiga kategori utama: transisi energi, peningkatan penjualan, dan rasio elektrifikasi.

PLN juga melakukan pendekatan inovatif dalam stabilisasi penjualan listrik, seperti memberikan diskon tambahan untuk konsumsi listrik yang melebihi rata-rata.

“Misalnya, jika pelanggan biasanya menggunakan 1.000 kWh namun bulan ini mencapai 1.100 kWh, maka 100 kWh tambahan bisa mendapatkan diskon,” jelas Ronny.

PLN turut memperkenalkan produk-produk berbasis energi hijau, seperti Green Energy as a Service. Dalam lima tahun terakhir, permintaan terhadap Renewable Energy Certificate (REC) terus meningkat, terutama dari industri yang diwajibkan menggunakan energi ramah lingkungan.

“Dengan REC, perusahaan bisa mengklaim bahwa sebagian listrik mereka berasal dari sumber terbarukan. Meski ada tambahan biaya, hal ini menjadi nilai tambah bagi perusahaan dalam menjalankan praktik bisnis berkelanjutan,” terang Ronny.

Beberapa perusahaan bahkan memilih Dedicated Source, yaitu kerja sama eksklusif dalam pembangunan pembangkit energi terbarukan, yang tidak hanya menjamin suplai, tapi juga memberikan pengakuan kontribusi terhadap transisi energi.

Sementara untuk mendorong penggunaan kendaraan listrik, PLN memberikan diskon tarif listrik sebesar 30 persen untuk pengisian daya di rumah (home charging) antara pukul 22.00 hingga 05.00 WIB. Namun, diskon ini hanya berlaku bagi pelanggan yang telah menggunakan alat pengisian resmi dan terintegrasi dengan sistem PLN.

“Tarif listrik untuk kendaraan listrik lebih murah dibandingkan diesel, yaitu sekitar Rp1.300 per kWh dibandingkan hampir Rp2.500 per kWh untuk solar,” tambahnya.

PLN juga terus memperbaiki rasio SPKLU terhadap jumlah kendaraan listrik. Di kawasan seperti Jakarta dan Jawa Barat, rasio saat ini berada di angka 1:40, dan ditargetkan menjadi 1:17. Untuk daerah lainnya, fokus utama adalah aksesibilitas antar SPKLU, dengan rencana menyediakan SPKLU di setiap kantor PLN dalam radius maksimal 50 km.

Menutup sesi kuliah tamu, Ronny mengajak para peserta untuk mendukung dan terlibat dalam transisi energi hijau. PLN sangat terbuka untuk peluang kolaborasi, khususnya dalam pembangunan dan pengelolaan SPKLU melalui skema kemitraan.

Kontributor: Hansen Marciano, Manajemen 2025