Selain penerbitan jurnal dan prosiding konferensi, diseminasi riset dapat juga dilakukan dengan penerbitan Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Meski begitu, masih banyak periset yang belum sepenuhnya memahami bagaimana penerbitan HKI menjadi salah satu bentuk penyebarluasan sekaligus perlindungan hasil riset mereka.

Hal ini disampaikan oleh Yos Sunitiyoso, ST., M.Eng., Ph.D. pada pembukaan DMSN Talk Series 2021, “Research Dissemination Series – HKI For Research Dissemination” yang berlangsung pada Jumat (24/9/2021). Selain Yos, acara tersebut juga dibuka dengan presentasi bertajuk “Pemanfaatan Sistem HKI Dalam Riset” yang dibawakan oleh Ahdiar Romadoni, MBA, selaku Konsultan Kekayaan Intelektual di Lembaga Pengembangan Inovasi dan Kewirausahaan (LPIK) ITB.

Ahdiar memulai presentasi dengan mengutip pendapat John Howkins dari bukunya, The Creative Economy: How People Make Money From Ideas, berbunyi “Hak Kekayaan Intelektual adalah mata uang dasar dari ekonomi kreatif. HKI adalah cara orang menyatakan kepemilikan, mengontrol penggunaan, serta menentukan harga.”

Lantas, apa sebenarnya pengertian HKI itu sendiri? Ahdiar menjelaskan bahwa HKI merupakan hak eksklusif dari negara yang diberikan kepada orang maupun sekelompok orang (berstatus entitas hukum) dalam jangka waktu tertentu atas pengungkapan suatu hal kepada publik. Sebagai kunci, HKI melindungi produk pikiran atau kecerdasan manusia, yang posisinya sama bahkan dapat lebih berharga dari aset-aset lainnya yang dimiliki suatu entitas hukum. Hak-hak yang dinaungi oleh HKI meliputi hak monopoli, hak komersialisme, hingga hak transaksi.

Secara garis besar, terdapat 2 jenis HKI, yaitu hak cipta dan hak kekayaan industri. Hak cipta merupakan bentuk perlindungan intelektual tertinggi yang mencakup perlindungan atas ilmu pengetahuan, karya tulis, seni, sastra, bahkan program komputer. Sementara, hak kekayaan industri melindungi penemuan atau hasil riset yang bersifat teknis-solutif dalam bentuk produk maupun proses/metode tertentu. Hak kekayaan industri menaungi paten, merek, desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu komputer, rahasia dagang, varietas baru, dan sebagainya.

Secara khusus, Ahdiar membahas salah satu bentuk paten dalam dunia bisnis, berupa paten metode bisnis yang menitikberatkan bagaimana suatu badan usaha menjalankan ataupun mengintegrasikan kegiatan bisnis dengan teknologi. Paten metode bisnis dapat mencakup berbagai bidang di suatu perusahaan, seperti logistik dan transportasi, manajemen pemesanan, cara transaksi, hingga manajemen produk dan pelanggan.

“Tujuan HKI itu merangsang masyarakat untuk berkarya” tutur Sang Konsultan di LPIK ITB tersebut.

Dia menjelaskan latar belakang HKI dalam konteksnya sebagai penggugah masyarakat untuk berinovasi yang erat kaitannya dengan dampak globalisasi, yakni eksistensi pasar dan perdagangan bebas, ketatnya kompetisi bisnis, serta perilaku meniru ide dan gagasan milik orang lain. Masalah-masalah tersebut mendorong timbulnya ekonomi berbasis pengetahuan yang mengedepankan aset intelektual, riset, serta industri berbasis kreatif.

HKI menimbulkan paradigma baru dalam berbisnis. “Jika dahulu praktek bisnis menekankan penguasaan sumber daya untuk produksi dan penjualan produk, bisnis berparadigma HKI mengedepankan riset dan inovasi yang terlindungi HKI sebagai keunggulan kompetitif suatu perusahaan dan berfungsi bukan hanya sebagai perlindungan hukum,” kata Ahdiar.

Tidak sebatas bermanfaat untuk komersialisasi secara monopoli, pemanfaatan HKI juga dilakukan dalam bentuk pengembangan HKI bersama dengan pihak lain, outsourcing, pemberian lisensi, waralaba, serta penugasan HKI.

Dalam konteks ekonomi makro, paradigma baru ini mendorong timbulnya pandangan tambahan dalam melihat kesuksesan suatu negara dengan melihat seberapa besar negara tersebut menganggarkan dana untuk keperluan riset dan pengembangan. Pada tahun 2020, Republik Rakyat Tiongkok, Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan, dan Jerman, menjadi negara-negara yang menganggarkan dana terbesar untuk keperluan riset dan pengembangan. Sementara, Indonesia menjadi negara yang persentase anggaran riset dan pengembangannya terhitung kecil dibandingkan produk domestik bruto (PDB), dengan persentase di bawah Polandia, Turki, bahkan Mesir.

Setelah mendengarkan pemaparan HKI secara umum, DMSN Talk Series dilanjutkan dengan presentasi berjudul “Pendaftaran Paten dan HKI pada Inovasi Produk” oleh Muhammad Fattah Aziiz, Direktur PT. Tesla Daya Elektrika, yang menjelaskan salah satu contoh konkret pemanfaatan HKI untuk diseminasi riset.

Fattah menjelaskan bagaimana perusahaannya yang beroperasi sebagai konsultan dan kontraktor kelistrikan tersebut mematenkan berbagai inovasi mereka sejak tahun 2015 silam. Inovasi yang dimaksud merupakan gagasan dari Dr. Ir. Djoko Darwanto, seorang insinyur ahli kelistrikan yang juga dosen tetap di Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) ITB. Dosen yang masih aktif mengajar tersebut mengamati bahwa 30 persen masalah kelistrikan secara umum disebabkan oleh sambaran petir.  Alhasil, beliau menggagas berbagai sistem proteksi petir. Kini, PT. Tesla Daya Elektrika telah berhasil memiliki 4 paten dari 5 lini produk mereka.

Sebagai penutup, Fattah menjelaskan berbagai tantangan yang dihadapi oleh peneliti maupun pebisnis dalam membuat paten maupun HKI pada umumnya. Tantangan-tantangan tersebut antara lain berupa kemunculan produk baru, tantangan yang dijumpai dalam proses riset dan pengembangan, alur proses paten dan sertifikasi itu sendiri, posisi tawar-menawar di pasar, hingga tindakan plagiarisme.

Kontributor: Mochamad Daffa, Menejemen 2022