Perkembangan industri digital atau dikenal dengan industri 4.0 telah mengubah kebutuhan akan tenaga kerja. Berdasarkan hasil penelitian dari Mckinsey Global Institute memperkirakan, pada tahun 2030, 15-20 juta pekerja Indonesia akan digantikan oleh otomatisasi.

Direktur Digital Business PT Telkom Indonesia Tbk. Fajrin Rasyid mengungkapkan hal itu dalam Focus Group Discussion (FGD) yang diadakan oleh kelompok keahlian People and Knowledge Management (PKM) SBM ITB.

Fajrin diundang sebagai pembicara untuk membahas masa depan kerja (the future of work) bersama dengan dosen dan peneliti di kelompok keahlian People and Knowledge Management SBM ITB. Diskusi ini bertujuan untuk mengetahui kebutuhan pekerjaan di masa depan bagi lulusan universitas untuk bisa beradaptasi dengan industri 4.0.

Menurut Fajrin, saat ini dan untuk di masa depan, Indonesia membutuhkan lebih banyak talenta digital atau tech-talent. Melalui riset dari Erkut, Fajrin menyebutkan setidaknya 1000+ perusahaan teknologi aktif mencari talenta teknologi di tahun 2018, meningkat 5x lipat dari tahun 2017.

Akan tetapi, Indonesia masih kekurangan talenta digital atau teknologi. “Kita memiliki gap 600.000 per tahun antara tech-talent/digital-talent dengan permintaan dari sektor teknologi,” kata Fajrin dengan mengutip pernyataan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Fajrin yang juga merupakan salah satu pendiri e-commerce Indonesia, Bukalapak, menyoroti besarnya kebutuhan talenta digital karena ekosistem digital Indonesia yang terus berkembang. Selain itu, talenta digital tidak hanya untuk perusahaan teknologi tetapi juga untuk perusahaan nonteknologi untuk melakukan transformasi digital. “Banyak sekali startup yang membutuhkan talenta digital,” kata Fajrin.

Di Telkom, Fajrin menjelaskan bahwa untuk memenuhi kebutuhan talenta digital, mereka melatih karyawan untuk memiliki keterampilan digital. “Karena sekarang kami kekurangan talenta digital, maka kami melakukan pelatihan untuk karyawan kami,” kata Fajrin.

Disamping itu, Wakil Dekan Bidang Akademik SBM ITB, Prof. Dr. Aurik Gustomo, ST, MT mengungkapkan bahwa di SBM ITB mahasiswa telah diajarkan tentang literasi digital melalui beberapa mata kuliah, seperti komputasi bisnis dan analitik yang memberikan pemahaman kepada mahasiswa tentang pengetahuan digital dan teknologi.

Selanjutnya, Aurik juga menjelaskan bahwa mahasiswa SBM ITB didorong untuk berkolaborasi dengan mahasiswa di fakultas yang berbeda seperti mahasiswa Informatika sehingga mereka memiliki keterampilan yang saling melengkapi. “Kami tidak hanya berhenti di industri 4.0 tapi juga bisa mendorong kolaborasi,” tegas Aurik.

Melalui kolaborasi, mahasiswa SBM ITB tidak perlu menguasai segala hal, seperti  untuk bagian programming, mereka bisa berkolaborasi dengan mahasiswa informatika.

“Mereka (mahasiswa SBM ITB) harus mengerti tentang AI, tetapi tidak harus mengerti pemrograman atau hal-hal yang juga merupakan spesialisasi yang memakan waktu lama dimana hal ini dapat dilakukan oleh mahasiswa dari teknik informatika,” kata Aurik dalam penutupnya.

Kontributor: Deo Fernando, Kewirausahaan 2021