Sertifikasi halal adalah salah satu hal yang wajib dikantongi pengusaha dalam menjalankan bisnisnya, terutama di Indonesia yang mayoritas penduduknya menganut agama Islam. Namun, proses sertifikasi yang dianggap sulit dan memakan banyak biaya menghambat pemilik bisnis, terutama pengusaha kecil dan mikro dalam mengurus sertifikasi tersebut. Oleh karena itu, CIBF SBM ITB bekerjasama dengan Pusat Kajian Halal ITB menggelar sebuah seminar yang berjudul “Self Declare Halal Certification: Peran Pendamping Proses Produk Halal (PPH) dalam Menyukseskan Sertifikasi Halal UMK” pada Sabtu (23/4/2022) sebagai sosialisasi sertifikasi halal melalui jalur self-declaration. Seminar ini mengundang tiga pembicara sekaligus, yaitu Hj. Siti Aminah, M.Pd.I selaku Kepala Pusat Kerjasama dan Standardisasi Halal BPJPH, Prof. Dr. Slamet Ibrahim, DEA., Apt selaku Guru Besar Sekolah Farmasi ITB & Ketua Halal Center Salman ITB, dan Oktofa Yudha Sudrajad, Ph.D selaku Direktur CIBF SBM ITB.

Tiga pembicara yang diundang dalam sesi ini membahas sertifikasi halal dalam sudut pandang yang berbeda. Oktofa mengangkat topik hubungan sertifikat halal dengan ekonomi dan bagaimana sertifikasi halal akan memberikan peningkatan manfaat. Menurutnya, sertifikasi ini tidak mempengaruhi komponen biaya secara signifikan karena kurang dari 1% jika dibandingkan dengan pendapatan. Oleh karena itu, pengusaha tidak perlu khawatir tentang pengurangan pendapatan. Apalagi, sertifikasi halal dengan alur self-declare itu gratis.

“Dari sisi benefit, potensi industri halal itu besar, konsumsi Indonesia juga banyak. Namun, pasar halal dunia bukan kita yang menguasai. Sebagai negara dengan populasi muslim terbesar, harusnya kita bisa memanfaatkan potensi ini. Salah satu caranya yaitu dengan mendorong sertifikasi halal,” ujar Oktofa.

Sementara itu, Prof. Slamet memfokuskan pembahasannya pada kompetensi pendamping proses produksi halal (PPH) pelaku usaha mikro dan kecil. Pendamping PPH ini dapat berasal dari organisasi masyarakat maupun perguruan tinggi dan bertugas melakukan verifikasi dan validasi dokumen. Karena memiliki peran yang sentral dalam proses sertifikasi halal self-declare, diperlukan kompetensi yang cakap agar hasil pendampingannya diyakini baik oleh pelaku usaha maupun MUI sehingga kehalalan produknya dapat benar-benar dipastikan.

Ada beberapa kompetensi yang perlu dimiliki pendamping PPH, diantaranya yaitu memahami perundang-undangan jaminan produk halal serta aturan implementasinya, memahami konsep halal-haram dalam syariat islam, mengerti proses sertifikasi halal yang berlaku, serta mengerti dan memahami sistem jaminan produk halal (SJPH).

“Pendamping PPH harus dibina oleh BPJPH dan diberi kode etik pendamping pph yang perlu dipatuhi sebagai standarnya. Dengan adanya standar kompetensi, pendamping dapat memberikan pendampingan bagi UMKM dengan jujur, baik, integritas, dan bertanggung jawab,” ujar Prof. Slamet.

Terakhir, Siti menyampaikan regulasi sertifikasi halal khususnya untuk alur self-declare. Siti juga mendorong masyarakat terutama mahasiswa di perguruan tinggi dan anggota organisasi masyarakat Islam untuk menjadi pendamping PPH untuk membantu BPJPH yang menyasar sepuluh juta sertifikat halal untuk usaha mikro dan kecil. Untuk memenuhi sasaran target ini, dibutuhkan kurang lebih seratus ribu orang pendamping PPH dari perguruan tinggi maupun organisasi masyarakat.

Pendamping PPH akan membantu pelaku usaha dalam sisi pengisian form, verifikasi dan validasi dokumen-dokumen. Oleh karena itu, diperlukan kesabaran yang besar karena menghadapi UMKM tidak seperti bisnis lain. Selain itu diperlukan juga ketelitian, karena pelaku usaha yang nanti akan didatangi kadang ada yang menyerahkan semua ke pendamping. Ini tantangan yang akan dihadapi. Namun, jangan khawatir, pendamping akan dibekali melalui pelatihan.

Kontributor: Janitra Nur Aryani, Manajemen 2023