Knowledge Management Society Indonesia (KMSI) kembali mengadakan bedah buku secara daring. Kali ini, Jumat (19/08/2022), buku yang dapat giliran dibedah adalah The Knowing-Doing Gap: How Smart Companies Turn Knowledge into Actionbuku lawas terbitan 1999 yang ditulis oleh Jeffrey Pfeffer dan Robert Sutton.

Buku ini semakin relevan pada masa kini. Pfeffer dab Sutton menggunakan banyak contoh kasus untuk menjelaskan bagaimana upaya mengatasi ketimpangan antara aksi dan pengetahuan.

Hadir sebagai pembedah buku adalah Profesor Jann Hidajat Tjakraatmadja. Head of People and Knowledge Management Expertise Group & Professor SBM ITB tersebut menguraikan tantangan-tantangan masa kini dalam pengelolaan pengetahuan di sebuah perusahaan, mengacu pada uraian dalam buku.

Menurut Jann, peradaban yang berubah meningkatkan kompleksitas masalah. Butuh pengetahuan baru untuk mengatasinya. Namun pengetahuan tersebut kerap kali belum ditemukan.

Misalnya, masalah iklim yang tak kunjung usai, namun pengetahuan yang ada belum cukup mumpuni. Karena kompleksitas ini pun, beban kerja otak dan proses berpikir manusia menjadi semakin berat. Manusia semakin tidak rasional dan menderita atas keputusan-keputusannya yang salah. “Banyak sekali masalah yang timbul karena kita tidak bisa eksplorasi,” ujar Jann Hidajat.

Tantangan masa kini yang kedua, menurut Jann, adalah adanya banyak pilihan dan tuntutan untuk berpikir kompleks. Hal ini sangat berdampak pada kehidupan, kebijakan publik, dan pihak swasta. Hal ini berakar dari model mental blok (mental block).

Mengutip Bob Waterman, Jann berkata, mengapa organisasi tidak melakukan lebih banyak aksi, padahal mereka tahu perlu melakukannya? Jawabannya bukan lah pada kurangnya kecerdasan atau strategi.

Menurut Pfeffer dan Sutton, agar suatu organisasi bisa bertahan, mereka perlu mengubah pengetahuan menjadi aksi. Pertama, dengan mengedepankan pertanyaan “mengapa” sebelum “bagaimana.” Kedua, memetik pengetahuan lewat aksi dan mengajarkannya pada orang lain. Cara tersebut dianggap sebagai cara memetik pengetahuan yang paling baik.

Ketiga, aksi bernilai besar dibandingkan dengan rencana atau konsep hebat yang tidak terlaksana. Keempat, memanfaatkan kekeliruan dalam tindakan sebagai proses belajar. Kelima, menjauhkan rasa takut demi mendorong prestasi optimal.

Keenam, bersaing dengan organisasi lain, bukan dengan kolega kerja. Ketujuh, melakukan pengukuran dan penilaian pada hal-hal yang penting dan relevan. Terakhir, pemimpin perlu memastikan bahwa waktu, tenaga, dan pikirannya digunakan dengan baik, yakni dengan membangun sistem yang memfasilitasi transformasi pengetahuan menjadi aksi.

Bedah buku tidak satu arah. Partisipan pun turut membagikan pengalaman-pengalamannya yang berhubungan dengan pengelolaan pengetahuan menjadi aksi nyata dalam organisasi. Dari cerita-cerita tersebut, muncul kesimpulan, bahwa transformasi pengetahuan menjadi aksi memang jadi tantangan banyak orang.

Kontributor: Hadiyanti Ainun Atika, YP MBA 2021