Dalam era globalisasi, esensi perilaku etis menjadi semakin penting. Prinsip-prinsip etika tidak hanya menjadi landasan moral, tetapi juga merupakan faktor penting yang mempengaruhi citra perusahaan dan hubungan lintas budaya.

Pemilik PT Tigasatu Medika Solusindo, Christian Van Schoote,

menjelaskan etika bisnis internasional tersebut saat mengisi kuliah tamu Integrated Business Asia di Sekolah Bisnis Manajemen Institut Teknologi Bandung (1/11). Menurut Christian, ada tiga elemen dasar dalam etika bisnis. “Yaitu pengertian etika itu sendiri, integritas, dan moralitas,” ucap Christian.

Christian pernah meneliti bagaimana individu secara sukarela mengikuti norma moralitas masyarakat dalam fungsi atau spesialisasi di bidangnya. Hasil riset digambarkan dalam bentuk grafik berupa huruf “U” terbalik. Grafik pertama yang naik ke atas menggambarkan individu-individu dari latar belakang sosio-ekonomi rendah, yang menganggap masyarakat tidak adil dan meyakini bahwa sistem pada dasarnya memiliki kelemahan. 

Sebaliknya, grafik yang menurun ke bawah menggambarkan individu-individu kaya yang cenderung percaya bahwa mereka memiliki kemampuan untuk melakukan manuver melampaui batas-batas norma yang sudah ada. Segmen ini sering kali mengadopsi pola pikir tak terkalahkan, dengan asumsi bahwa mereka dapat bertindak di atas hukum dan memiliki sarana untuk melepaskan diri dari situasi apa pun. Grafik yang kontras ini tidak hanya menggambarkan status ekonomi namun juga mencerminkan kecenderungan moral masing-masing kelompok. 

Pendirian moral ini juga mencakup perilaku dan perspektif perusahaan besar. Seringkali, perusahaan-perusahaan besar menunjukkan pedoman moral yang sejalan dengan upaya mereka untuk meraih kekuasaan dan pengaruh.

Entitas-entitas besar ini cenderung melakukan upaya lobi yang ekstensif untuk menjaga posisi monopoli mereka dan untuk menghilangkan atau melemahkan pesaing yang lebih kecil. Sudut pandang etis mereka lebih berorientasi pada pelestarian diri dan dominasi pasar, dibandingkan mengikuti kompetisi yang sehat atau kesejahteraan masyarakat. 

Penjajaran grafik tersebut berfungsi sebagai representasi visual dari perbedaan sikap moral antara kelompok sosial ekonomi yang berbeda dan perilaku moral reflektif dari perusahaan-perusahaan besar di pasar. Kesenjangan dalam persepsi dan sudut pandang etika antara korporasi yang kurang beruntung, yang makmur, dan yang berkuasa menggarisbawahi interaksi yang kompleks antara moralitas, kekuasaan, dan kedudukan ekonomi dalam masyarakat.

Sementara perusahaan skala kecil seperti perusahaan rintisan dan UKM sering kali menganggap sistem di negaranya bias terhadap mereka, karena mereka yakin bahwa mereka tidak mampu untuk bisa mengikuti cara kerja sistem. Perusahaan-perusahaan besar dan entitas politik cenderung mengutamakan kepentingan mereka sendiri tanpa banyak mempertimbangkan moralitas. 

Fakta lainnya, secara geografis, Asia sering dianggap memiliki standar etika terendah. Amerika berada di tengah-tengah, dan UE dianggap sebagai kawasan dengan standar moral tertinggi. 

Pada tingkat etika yang paling rendah, dunia usaha mungkin mengikuti prinsip mengeksploitasi area yang ambigu tanpa ketahuan. Sebaliknya, praktik yang paling etis menganut sikap proaktif dan tegas, berfokus pada aktivisme yang berprinsip dan memimpin dengan proposisi etis.

Salah satu kasusnya adalah L’Oreal dan Bodyshop, yang pada awal mula terbentuknya di tahun 1976 masih kurang memperhatikan etika dalam bisnisnya. Seiring dengan berjalan waktu, kedua perusahaan kosmetik besar ini mencapai stabilitas dan mendapat banyak keuntungan di tahun 2006 karena benar-benar mencoba implementasi etika dan ESG dalam aktivitas bisnisnya. 

Pada dasarnya sulit untuk terus-menerus bersikap etis dalam sebuah bisnis, namun hal ini penting untuk kelangsungan hidup jangka panjang. Dalam etika bisnis internasional, penting untuk diingat bahwa mengembangkan kepercayaan, peka terhadap perbedaan budaya, dan mengikuti prinsip-prinsip moral, tidak hanya diperlukan untuk kesuksesan jangka panjang, tetapi juga untuk menjaga integritas dunia dan niat baik di antara semua pemangku kepentingan.

Kontributor: Luthfaliya Zahira, Manajemen 2025