Kualitas pengalaman menginap kini lebih penting dibandingkan sekadar lokasi. Karena alasan inilah staycation semakin menjadi pilihan utama bagi banyak wisatawan dalam menikmati liburannya. 

Banyak wisatawan kini mencari akomodasi yang menawarkan kenyamanan, teknologi, dan konsep unik—di manapun tempatnya. Hal ini menciptakan peluang besar bagi bisnis hospitality untuk berkembang, tetapi juga menghadirkan tantangan: bagaimana memastikan strategi pemasaran tetap relevan di tengah perubahan tren ini?

Untuk mempelajari langsung strategi pemasaran di industri ini, sebanyak tiga puluh enam mahasiswa SBM ITB mengunjungi Bobocabin Sukawana pada Rabu (5/3). Kunjungan ini merupakan bagian dari program experiential learning mata kuliah Hospitality and Tourism Marketing (HTM), yang bertujuan untuk memahami implementasi strategi bisnis dalam dunia nyata.

Ilma Aulia Zaim, Ph.D., dosen pengampu mata kuliah tersebut, menekankan pentingnya pengalaman langsung bagi mahasiswa agar mampu menghubungkan teori dengan praktik di dunia nyata. 

“Penting bagi mahasiswa untuk memiliki pengalaman langsung seperti ini guna memperkuat pemahaman teoritis mereka. Dengan begitu, mereka tidak hanya memahami strategi pemasaran dalam konteks akademik, tetapi juga melihat langsung implementasi, tantangan operasional, serta solusi kreatif dalam bisnis nyata,” ujarnya.

Bobocabin, sebagai salah satu inovasi dari Bobobox, menawarkan konsep akomodasi yang menggabungkan teknologi dengan pengalaman wisata alam. Mahasiswa SBM ITB yang mengikuti kunjungan ini diberikan tugas besar untuk menganalisis studi kasus ekspansi Bobocabin di Indonesia Timur, termasuk di Kintamani, Rinjani, Sumba, dan Bunaken. Wilayah-wilayah ini memiliki tantangan unik, mulai dari aksesibilitas, integrasi dengan budaya lokal, hingga segmentasi pasar yang masih berkembang.

Bayu Ramadhan, Chief Commercial Operations Sukawana sekaligus alumni SBM ITB angkatan 2013, memaparkan bagaimana perjalanan Bobobox dari konsep hotel kapsul hingga berevolusi menjadi akomodasi berbasis smart cabin. Menurut dia, transformasi ini tidak mudah. 

“Kami harus memahami apa yang benar-benar diinginkan konsumen ketika mereka menginap untuk berlibur. Dari situ, lahirlah konsep Bobocabin dengan pengalaman staycation yang lebih dekat dengan alam,” jelasnya.

Bayu menjelaskan tiga jenis cabin yang ditawarkan di Bobocabin Sukawana. Pertama Grand Cabin – memberikan kenyamanan premium bagi wisatawan yang menginginkan ruang lebih luas. Lalu Grand Hot Tub – dirancang bagi tamu yang menginginkan relaksasi dengan fasilitas pemandian air panas pribadi. Dan ketiga, Royal Cabin – pilihan eksklusif dengan fasilitas dan layanan terbaik untuk pengalaman menginap yang mewah. 

Keunikan utama dari Bobocabin, menurut Bayu, terletak pada integrasi teknologi dalam layanan mereka. Teknologi adalah mandatory bagi perusahaan ini. Khususnya dalam sistem IoT yang memungkinkan tamu untuk mengakses berbagai layanan secara otomatis dan efisien. 

“Kombinasi antara smart hospitality, desain modern, pemandangan alam, serta pelayanan berkualitas menjadikan Bobocabin memiliki return on rate yang sangat tinggi, mencapai 75%,” jelas Bayu. Bahkan, ketika pandemi Covid-19 menghantam industri wisata, Bobocabin mampu bertahan dan justru mengalami pertumbuhan.

Selain membahas strategi pemasaran dan model bisnis, Bayu juga mengungkapkan pentingnya keberlanjutan dalam industri hospitality. Perusahaan harus memikirkan bagaimana bisnis wisata tidak hanya berkembang tetapi juga berkelanjutan. Bobocabin berusaha mengadopsi prinsip eco-friendly hospitality dengan penggunaan material ramah lingkungan, pengelolaan limbah yang lebih baik, serta pemberdayaan komunitas lokal dalam operasionalnya. 

“Dengan demikian, kita tidak hanya menciptakan destinasi wisata, tetapi juga membangun ekosistem bisnis yang lebih bertanggung jawab,” tambahnya.

Dalam laporan tugas besar mereka, mahasiswa SBM ITB diharapkan mampu menganalisis integrasi antara tren industri terkini dengan strategi pemasaran Bobocabin. Aspek lain yang juga perlu ditelaah adalah pemahaman terhadap pasar wisatawan asing di Indonesia Timur, pemanfaatan pemasaran digital di daerah dengan infrastruktur terbatas, serta strategi untuk membangun competitive advantage di tengah persaingan akomodasi alternatif.

Kunjungan ini menjadi lebih dari sekadar observasi bisnis, tetapi juga kesempatan bagi mahasiswa untuk memahami lebih dalam bagaimana industri hospitality bisa terus berkembang dengan pendekatan berbasis teknologi dan keberlanjutan. Dengan wawasan ini, mereka diharapkan mampu merancang solusi inovatif yang tidak hanya relevan dengan tren industri, tetapi juga memberikan dampak jangka panjang bagi sektor pariwisata Indonesia.

Kontributor: Dio Hari Syahputra, Manajemen 2026