SBM ITB berdiri bukan hanya sebagai institusi pendidikan, tetapi juga sebagai ruang pencetak pemimpin dan inovator yang memiliki akar kuat pada nilai kemanusiaan, pengkontribusian, dan long life learning. SBM ITB dibentuk dengan tujuan mencetak karakter seorang pemimpin inovatif yang memiliki jiwa kewirausahaan sehingga bisa menyebarkan kebermanfaatan dan pengetahuan bisnis kepada pemerintah dan masyarakat. Salah satu tokoh yang terlibat dalam pencetusan nilai tersebut yaitu Prof. Dr. Aurik Gustomo, S.T., M.T., seorang dosen dengan kelompok keahlian people knowledge and management yang kini dipercaya sebagai Dekan SBM ITB periode 2025–2030.

Dari Lumajang ke Ganesha: Awal Perjalanan

Lahir dari keluarga yang cukup sederhana di Kabupaten Lumajang, Aurik tumbuh dengan penuh semangat meraih mimpi. Sejak SD hingga SMA, Aurik belajar menjadi pribadi yang mandiri. 

“Saya SD-nya itu jalan karena jaraknya cuma 50 meter dari rumah. Jadi, kalau dengar bel, saya tinggal lari ke sekolah,” ceritanya sambil tersenyum.

Namun, ketika masuk SMP, perjuangannya mulai terasa,

“Kalau SMP, saya harus menempuh jarak 15 kilometer pulang-pergi naik sepeda ontel setiap hari. Bukan sepeda motor yaa, tapi sepeda kayuh (kebo),” kenangnya.

Pada masa SMA jarak sekolah ke rumah sangat jauh, memaksa Aurik harus hidup mandiri semenjak kala itu (ngekos). Namun, dia tetap menjalani dengan penuh ambisi, semangat yang tak mudah padam, dan siap menerima tantangan. Dengan kondisi terbatas yang ada, tidak membuat prestasi akademiknya turun. 

“Dari SD, SMP, SMA saya selalu mendapat peringkat satu. Dengan pencapaian itu, Aurik memberanikan diri untuk melangkah lebih jauh,” ujar Aurik dengan bangga.

Masuk ITB terasa seperti mimpi yang jauh dan tidak pernah terbayangkan bagi Aurik. Sosok anak desa dengan keterbatasan fasilitas, tetapi dengan tekad dan doa orang tua serta semangat untuk mengubah kondisinya, dia berhasil diterima di Jurusan Teknik Industri ITB tahun 1991, jurusan yang saat itu memiliki persaingan sangat ketat. 

“Waktu itu saya nggak ikut bimbel, nggak tahu soal passing grade, hanya bermodal data jumlah pendaftar dan kuota jurusan dari buku UMPTN. Nekat aja daftar teknik industri ITB,” ujarnya.

Menemukan Panggilan di Dunia Akademik

Setelah diterima di ITB, dia justru semakin haus akan kesempatan belajar dan bertumbuh. Aurik tidak bermalas-malasan, dengan penuh semangat dia menerima semua opportunity yang ada hingga dia berkesempatan menjadi asisten laboratorium perancangan sistem kerja dan ergonomi saat kuliah. Hal tersebutlah yang menjadi cikal bakal Aurik mengenal dunia pengajaran hingga aktif menjadi dosen. Bahkan, dia juga aktif sebagai koordinator asisten hingga terlibat proyek-proyek dosen, termasuk konsultasi ke pelabuhan.

“Tahun kedua saya dipercaya jadi koordinator asisten. Dari situ saya mulai dapat cipratan proyek konsultasi dari dosen.” ungkapnya.

Setelah lulus pada 1996 dengan predikat cumlaude, dia langsung diminta menjadi dosen di jurusan yang sama, dan resmi diangkat sebagai PNS pada 1997.

“Dulu lulusan S1 masih bisa langsung jadi dosen. Dan saya memang sudah jatuh hati pada dunia mengajar,” tuturnya.

Sembari mengajar, dia melanjutkan S2 di Teknik dan Manajemen Industri ITB, lalu menyelesaikan gelar doktor di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada 2012. Gelar Guru Besar dia peroleh di usia 46 tahun, tahun 2019. “Mengajar bagi saya adalah misi. Misi kemanusiaan untuk membantu mahasiswa tumbuh secara utuh,” ucapnya.

Salah Satu Pendiri SBM ITB

Tahun 2003 menjadi momen historis.  Aurik ditunjuk menjadi salah satu dari sembilan tokoh perintis SBM ITB, ketika ITB ingin menghadirkan matra keempat dalam pendidikan: bisnis. 

“Saat itu ITB ingin punya matra keempat. Setelah engineering, science, dan seni, harus ada bisnis,” jelasnya.

Namun, tantangannya tidak ringan. “Kita harus memiliki keunggulan berbeda dengan fakultas ekonomi yang sudah ada. Maka muncullah konsep sekolah bisnis yang mengedepankan pengembangan karakter entrepreneurship, kepemimpinan, dan inovasi,” ujarnya.

“Keunggulan SBM ini salah satunya diwujudkan melalui metode pembelajaran berbasis experiential learning dan menciptakan international academic environment. Itu yang jadi DNA kita sejak awal dan membedakan dengan fakultas ekonomi di perguruan tinggi lain,” tambahnya.

Filosofi Mengajar: Belajar Lewat Pengalaman Nyata

Prof. Aurik percaya bahwa pengajaran di SBM harus berbeda dari kampus konvensional. “Saya suka bilang: belajar bisnis itu kayak belajar berenang. Kalau cuma dikasih teori, lalu disuruh nyebur, ya tenggelam. Tapi kalau kamu nyebur dulu, baru dibimbing, itu baru belajar namanya,” ucapnya sambil tertawa.

Dia menjadi pionir pengembangan kurikulum seperti Introduction to Business dan Integrated Business Experience. “Dari semester satu, mahasiswa sudah kita suruh jualan, bikin bisnis beneran. Supaya merasakan langsung tantangan dunia nyata,” katanya.

Visi untuk SBM ITB: Kolaboratif, Global, Berdampak

Menjabat sebagai Dekan untuk periode 2025–2030, Prof. Aurik membawa misi besar: menjadikan SBM sebagai top 10 business school di ASEAN, serta berkontribusi menuju ITB meraih peringkat top 150–200 dunia.

Dengan modal akreditasi internasional AACSB dan seluruh program studi SBM yang terakreditasi unggul, dia yakin target ini bisa dicapai. Namun dia menggarisbawahi pentingnya kolaborasi lintas fakultas dengan cara menggabungkan kekuatan teknologi, sains, dan seni dari ITB untuk membangun hub of entrepreneurship ecosystem yang nyata dan berdampak nasional serta global.

“Kita terlalu fokus ke dalam. Sekarang saatnya SBM menunjukkan eksistensinya ke luar—ke dunia. ITB punya kekuatan teknologi, sains, dan seni. Kenapa SBM nggak berkolaborasi lebih erat untuk membangun ekosistem kewirausahaan yang berdampak?” tegasnya.

Nilai Hidup: Belajar Tanpa Henti, Rendah Hati Sepanjang Jalan

Di tengah berbagai pencapaian, Prof. Aurik tetap memegang prinsip sederhana: long life learning atau biasa disebut belajar sepanjang hayat. Dia percaya bahwa semakin seseorang belajar, semakin dia menyadari luasnya dunia dan semakin rendah hatilah dia.

“Orang pintar itu justru merasa kecil di tengah samudra ilmu. Kalau sombong, berarti dia belum cukup belajar,” tuturnya.

Kontributor: Dio Hari Syahputra, Manajemen 2026