SBM ITB dan University of Applied Sciences and Arts Northwestern Switzerland (FHNW), resmi membuka Swiss Innovation Challenge (SIC) Asia 2025 dengan menggelar kick-Off Seminar bertema “Green is the New Disruptor: Startups Leading Sustainable change” secara hibrida di Bandung pada Kamis (26/6). SIC merupakan kompetisi inovasi bisnis yang telah berlangsung sejak 2016 dan masuk pada tahun kedelepan. 

Dekan SBM ITB, Prof. Dr. Aurik Gustomo, menjelaskan, tema tahun ini mengusung isu kebelanjutan karena untuk menciptakan bisnis yang benar-benar berkelanjutan, tidak cukup hanya mengutamakan keuntungan ekonomi. Sebab setiap inovasi harus memiliki dampak positif terhadap lingkungan dan sosial. 

 “Kita tidak boleh hanya berpikir dalam kerangka nilai ekonomi, tetapi juga harus mempertimbangkan nilai sosial dan lingkungan, yaitu manusia dan bumi,” ungkapnya.

National Project Officer SIC Asia 2025, Prawira Fajarindra Belgiawan, mengatakan SIC kali ini mencakup tiga tahap utama yaitu penyusunan gagasan inovatif, pengembangan rencana bisnis, serta strategi pelaksanaannya. Kompetisi ini terbuka bagi perusahaan, startup, maupun individu yang memiliki ide inovatif dan berdampak, dengan total hadiah mencapai Rp 50 juta. Pemenang juga berpeluang mempresentasikan inovasinya di tingkat internasional, tepatnya di Swiss. 

“Ini bukan sekadar perlombaan, melainkan wadah untuk mengubah ide menjadi aksi dan memberi dampak nyata,” kata Prawira.  

Sama seperti Prawira, International Steering Committee Swiss Innovation Challenge Mahmoud Al-Kilani menekankan bahwa kompetisi ini bukan sekadar ajang lomba, melainkan peluang nyata bagi para wirausahawan muda, mahasiswa, dan praktisi untuk mengembangkan ide inovatif menjadi solusi berdampak global. Ia juga menyampaikan harapannya agar program ini menjadi jembatan kolaborasi antara Indonesia dan Swiss.

Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa dalam kompetisi ini, tidak ada istilah tim terbaik atau pemenang mutlak. Menurutnya, setiap peserta yang berhasil mencapai tahap akhir sudah menunjukkan kualitas luar biasa dan layak disebut sebagai pemenang. Penilaiannya bukan semata soal siapa yang unggul, tetapi seberapa besar kontribusi ide-ide tersebut terhadap perubahan yang berkelanjutan. Ia mendorong para peserta untuk tetap percaya diri. 

“Berani, kreatif, dan yang terpenting nikmati setiap prosesnya,” pesannya.

Sementara itu, pengajar SBM ITB Melia Famiola Hariadi, yang hadir sebagai pembicara seminar pembuka mengatakan keberlanjutan di sektor bisnis bukan sebagai beban, melainkan peluang untuk berinovasi. Ia menekankan bahwa startup memiliki keunggulan karena tidak harus terikat pada pola lama.

“Startup justru bisa memangkas proses awal dan langsung fokus membangun sistem yang berkelanjutan,” jelasnya.

Melia mencontohkan Kaffeeform, sebuah startup di Jerman yang mengolah limbah ampas kopi menjadi produk cangkir yang dapat digunakan kembali. Contoh lainnya datang dari Blue Ventures yang merancang model konservasi dan membuka peluang ekonomi melalui ekowisata. 

Melia menjelaskan bahwa dunia kini bergerak menuju ekonomi rendah karbon. Peluang besar terbuka di bidang energi terbarukan, karbon kredit, dan restorasi lingkungan. Salah satu contohnya adalah proyek restorasi lahan gambut di Kalimantan Tengah yang berhasil menarik dukungan dari perusahaan internasional. 

“Ini bukan bisnis konvensional, melainkan sektor baru yang sangat relevan, dan Indonesia memiliki peran penting sebagai penyedia oksigen dan penyerap karbon dunia,” tambahnya. “Keberlanjutan bukan lagi soal mengurangi dampak buruk, tapi tentang menciptakan dampak yang lebih baik.”

Kontributor: Hartanti Maharani, Manajemen 2026