Societal Impact bukan sekadar bentuk pengabdian masyarakat. Di SBM ITB, program ini menjadi bagian dari experiential learning, sebuah pendekatan pembelajaran yang menekankan pengalaman langsung dan pemahaman akan kompleksitas nyata di lapangan. Salah satu implementasinya adalah melalui mata kuliah Business Scale-Up yang dikoordinasikan oleh Sonny Rustiadi, selaku Ketua Program Studi Kewirausahaan SBM ITB.

Business Scale-Up sendiri memiliki struktur pembelajaran yang terdiri dari dua proyek besar, yakni sebelum dan sesudah Ujian Tengah Semester. Biasanya, mahasiswa bekerja sama dengan komunitas bisnis binaan SBM ITB seperti Ecobiz. Namun, tahun ini program diperluas dengan menjalin koordinasi bersama tim Societal Impact yang melahirkan dua lokasi utama kegiatan, yaitu Pasar Cimindi dan Pasar Atas di Cimahi dan pengembangan ekowisata di Cirata.

Pada proyek ini, mahasiswa ditugaskan untuk memahami kondisi riil para pedagang dan mengembangkan strategi scale-up yang tidak hanya tepat sasaran, tetapi juga berkelanjutan. Pendekatan digitalisasi menjadi salah satu fokus penting, namun bukan satu-satunya. Mahasiswa diminta terlebih dahulu melakukan observasi dan evaluasi masalah dan kebutuhan mitra sebelum merancang intervensi yang sesuai.

Solusi yang diberikan tidak selalu canggih. Penggunaan Excel atau spreadsheet yang dianggap sepele oleh mahasiswa, justru menjadi terobosan penting bagi para pedagang. Pendekatan ini terbukti efektif dalam meningkatkan kesadaran finansial dan operasional mereka.

“Salah satu hal menarik dari intervensi mahasiswa adalah saat mereka membantu proses digitalisasi dan strategi pemasaran yang tepat, hingga ada pedagang yang berhasil menerima pesanan dari Malaysia. Ini menjadi bukti nyata bahwa program ini benar-benar memberikan dampak yang signifikan,” ungkap Sonny ketika ditemui di Bandung (29/4).

Lebih dari sekadar membagikan solusi, mahasiswa juga dinilai dari kemampuannya berkomunikasi secara adaptif dan memahami konteks sosial para pedagang. Mereka tidak bisa membawa “kacamata ITB” dalam mendekati masyarakat Cimahi. Bahasa, budaya, dan cara berinteraksi harus disesuaikan. Kemampuan untuk lentur dan agile di tengah perbedaan usia, latar belakang pendidikan, maupun kebiasaan menjadi salah satu aspek penting dalam penilaian presentasi dan nilai akhir mahasiswa.

“Hal biasa bagi mereka seperti menggunakan spreadsheet, ternyata bisa menjadi hal luar biasa bagi pedagang. Ini melatih mahasiswa menjadi lebih rendah hati dan memahami bahwa untuk berdampak, kita harus betul-betul mengerti pihak yang kita bantu,” kata Sonny menambahkan.

Setelah proyek di Cimahi rampung, SBM ITB melanjutkan intervensi ke Cirata, fokusnya yaitu pada pengembangan ekowisata daerah ini. Proyek ini didukung oleh Bank Indonesia sebagai stakeholder utama dan PLN sebagai pemegang operasional bendungan. 

Saat ini, mahasiswa melakukan pemetaan sosial dan identifikasi potensi masyarakat lokal, sembari memperkenalkan wawasan kewirausahaan sebagai pondasi awal membangun destinasi wisata berkelanjutan. Target SBM yaitu mengembangkan satu desa per tahun. Sonny menegaskan bahwa program ini tidak hanya memberikan pengalaman belajar kepada mahasiswa, tetapi juga kontribusi riil bagi masyarakat. 

“Kami mendesain experiential learning yang menghadirkan kompleksitas nyata di lapangan. Harapannya, mahasiswa tidak hanya bisa teori, tapi juga menguasai soft skill seperti negosiasi, komunikasi, dan adaptasi.”

Harapannya, inisiatif ini tidak berhenti di tahap pembelajaran. Kolaborasi yang telah terjalin dengan stakeholder seperti Kementerian Perdagangan, Bank Indonesia, PLN, hingga pemerintah daerah diharapkan dapat menjadi landasan kuat untuk menciptakan dampak jangka panjang. Bagi stakeholder, Sonny berharap kontribusi ini dapat terwujud dalam bentuk pertumbuhan pasar, peningkatan penjualan, maupun peningkatan kapasitas pelaku usaha yang terlibat.

Kontributor: Hartanti Maharani, Manajemen 2026