Perubahan iklim telah memberikan dampak buruk bagi kehidupan. Dampak-dampak tersebut menimbulkan bencana yang mematikan. 

Sebagai contoh, bencana banjir bandang di Pakistan yang memakan 1.700 korban jiwa pada pertengahan Juni. Hujan deras yang turun belakangan ini merupakan bukti perubahan iklim yang serius sebagai pemicu bencana alam. 

Perubahan iklim terjadi karena emisi karbon yang dihasilkan dari produksi material. Material itu bisa dalam bentuk dasar logam, semen, plastik, ataupun sampah makanan yang hadir secara tidak langsung.

Edgar Hertwich, International Chair of Industrial Ecology dan Professor Energi dan Rekayasa Proses Norwegian University of Science and Technology menyampaikan dampak perubahan iklim tersebut saat mengisi kuliah umum bertajuk “Resource Efficiency and Climate Change: Implication for Business Leaders in Housing and Mobility” di Henk Uno Amphitheater, Kampus SBM ITB Kampus Jakarta pada Jumat (10/3).  

Edgar Hertwich menyampaikan dampak perubahan iklim tersebut saat mengisi kuliah umum bertajuk “Resource Efficiency and Climate Change: Implication for Business Leaders in Housing and Mobility”

Menurut Edgar kelebihan emisi karbon telah menjadikan iklim berubah menjadi lebih panas. “Sebetulnya, aturan main emisi karbon telah ditetapkan melalui European Climate Law pada tahun 2021. Target emisi karbon pada tahun 2050 adalah netral, melalui ketentuan yang kuat untuk beradaptasi,” kata Edgar.

Edgar menegaskan bahwa produksi material merupakan penyumbang 23% emisi gas rumah kaca. Angka tersebut meningkat sejak 1995 di angka 15%. Produksi material logam menjadi penyumbang terbesar dengan total 4,8 miliar ton (Gt), diikuti oleh produksi material infrastruktur seperti semen dengan total 4,4 Gt.

“Kita lihat Indonesia, seiring meningkatnya pembangunan perumahan, produksi semen sudah sangat banyak. Sehingga, material produksi perumahan juga meningkat dan emisi karbon yang dihasilkan juga meningkat,” tambah Edgar.

Maka dari itu, diperlukan strategi untuk melakukan efisiensi demi mengurangi emisi karbon. Untuk pembangun infrastruktur, dapat dimulai dengan mendesain pembangunan dengan material yang lebih minim. 

Selain itu, solusi lainnya ialah melakukan substitusi material. Material yang diproduksi juga harus didesain tahan lama. Terakhir, material yang masih baik dapat digunakan kembali untuk pembangunan lainnya.

“Di negara maju (G7), mereka menganalisa bahwa dengan strategi efisiensi material infrastruktur tersebut, dapat mengurangi emisi sebesar 30-40% hingga tahun 2050. Sedangkan di India dan China, emisi karbon yang diproduksi dapat menurun hingga 60-70%,” jelas Edgar.

Indonesia dapat memulai langkah efisiensi produksi material dengan menghadirkan kebijakan yang jelas untuk ini. Dengan kebijakan yang jelas, maka strategi dapat dipersiapkan untuk memberikan dampak yang positif terhadap pengurangan emisi gas rumah kaca. 

Kontributor: Bashravie Thamrin, Manajemen 2024