Krisis global yang terjadi beberapa tahun terakhir seperti pandemi Covid-19 dan perang Ukraina-Rusia mengakibatkan sejumlah permasalahan baru, tidak terkecuali di bidang rantai pasok. Cina sebagai salah satu negara penting dalam rantai pasok dunia mengalami hambatan seperti kelangkaan kontainer, pembatasan waktu produksi dan bahan baku. Dinamika baru tersebut memunculkan inisiatif dari Center for Asian Study, University at Buffalo di bidang rantai pasok untuk mengadakan diskusi terbatas di New York, Amerika Serikat (AS) pada 27 Maret 2023 lalu, tidak terkecualiĀ Togar Mangihut Simatupang, salah satu dosen SBM ITB. Keahliannya di bidang Kelompok Minat Manajemen Operasi dan Kinerja disandingkan dengan pembicara lain: Ryan Mulholland, penasihat senior Perdagangan dan Persaingan Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih, Ananth Iyer, Profesor dan Dekan Sekolah Manajemen University at Buffalo, J. Rungtustanatham, ketua peneliti manajemen rantai pasok York University, Li Chen, Profesor Manajemen Cornell University, dan Nallan Suresh, Profesor Sekolah Manajemen University at Buffalo.

Togar Mangihut Simatupang mengadiri diskusi terbatas di New York, Amerika Serikat yg diinisiasi oleh the University at Buffalo

Tujuan diskusi adalah membahas keadaan rantai pasok di Asia dan inovasi di masa depan, sebab hambatan yang dialami Cina berimbas pada produksi pabrik di Amerika Serikat. Inisiasi ide salah satunya adalah strategi multi-negara (China Plus One), yaitu strategi lokasi manufaktur di luar Cina. Sebagai salah satu perwakilan dari Indonesia, Togar mendapat wawasan dalam diskusi tersebut bahwa Indonesia belum bisa menjadi bagian dari strategi multi-negara bagi (AS). Kerjasama Indonesia-AS masih terbatas pada perdagangan, belum pada skala  lebih jauh seperti penelitian dan pengembangan. Namun potensi Indonesia masih besar dengan melimpahnya bahan baku mineral langka seperti nikel, bauksit, dan uranium.

Togar berpendapat setidaknya ada 4 kebijakan bagi Indonesia untuk menggaet kerjasama dengan AS, yaitu: menghasilkan produk dengan nilai tambah yang tinggi, bermuatan lokal (contoh: menggunakan tenaga kerja lokal), alih teknologi, dan ramah lingkungan (ekonomi rendah karbon). Kebijakan yang saat ini sudah berlangsung harus selalu diperbaiki dan mereplikasi sistem pada sektor potensial lain seperti pertanian, perikanan, dan kehutanan. Integrasi dari hulu ke hilir pada setiap sektor pun dibutuhkan, salah satunya dengan cara kolaborasi antar pemerintah daerah, sehingga kebijakan yang tidak berbelit memudahkan bisnis menjadi lebih efisien.

Kontributor: Aliva Rachma Delia, MBA YP 67