Oleh Togar M. Simatupang

Wacana krisis pangan akhir-akhir ini menghangat dibicarakan di kalangan para pakar, pengusaha, dan birokrat. Beragam solusi dibahas sampai dengan pembahasan penggantian UU No. 7 tentang Pangan tahun 1996 yang dianggap hanya menekankan terpenuhinya ketahanan pangan tetapi tidak menyentuh upaya untuk membangun ketahanan pangan nasional secara mandiri. UU Pangan tersebut juga belum mempertimbangkan aspek otonomi daerah dan perkembangan pasar pangan global.

Perdebatan yang mencolok adalah pemberian kewenangan yang besar kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan pangan. Tujuannya adalah supaya pemerintah daerah dapat melakukan peningkatan potensi produksi dan distribusi pangan. Kebijakan desentralisasi ini kurang diminati karena lemahnya koordinasi dalam optimasi stok secara nasional. Pemerintah daerah juga tidak mempunyai kompetensi yang memadai dalam mengelola stok daerah. Pemerintah pusat perlu tetap berperan dalam mengendalikan kebijakan budi daya dan distribusi komoditas pangan utama seperti beras.

Strategi swasembada beras merupakan pertanyaan yang ingin dijawab dalam setiap wacana bagaimana bangsa Indonesia yang nota bene negeri agraris mampu berdaulat memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya. Bahkan Presiden menetapkan target surplus beras sebesar 10 juta ton pada tahun 2014. Ambisi swasembada dengan surplus beras ini sepertinya mustahil dicapai lantaran hingga bulan Juli 2011 saja Pemerintah telah melakukan impor sebanyak 1,57 juta ton beras yang bernilai sekitar Rp 7,04 triliun. Kesulitan pencapaian swasembada juga terlihat dari besarnya subsidi dana beras miskin (raskin) sebanyak Rp 15,3 triliun pada tahun 2011. Belum lagi tampak dari tingginya tingkat kekhawatiran Pemerintah terhadap potensi ancaman krisis pangan dunia dengan menyiapkan skema pinjaman siaga pangan untuk ketahanan pangan 2012 sebesar Rp 15 triliun.

Penghambat pencapaian swasembada beras sudahlah diketahui secara umum. Hambatan yang utama mulai dari ketersediaan lahan tanam yang semakin menyempit, terbatasnya prasarana produksi dan irigasi, akses teknologi yang terbatas, pola pendanaan yang tidak terjangkau, dan fluktuasi harga jual yang tidak terkendali. Akibatnya, persoalan kelangkaan beras menjadi isu sentral dari tahun ke tahun dan impian swasembada hanya sebatas pada nostalgia masa lalu. Apa yang menjadi inti persoalan perberasan nasional ini dan apa jalan keluar dari kemelut krisis beras?

Persoalan Ketahanan Beras

Persoalan pertama adalah data yang tidak akurat untuk keperluan perencanaan dan pengendalian. Data yang tidak akurat merembet pada perencanaan yang keliru seperti target Kementrian Pekerjaan Umum yang hanya mencetak sawah sebesar 500 ribu hektar jauh di bawah kebutuhan 1,5 juta hektar untuk bisa surplus 10 juta ton beras. Data yang tidak akurat juga membuat pengendalian stok dan harga beras hanya sebatas tambal sulam antara operasi pasar dan keran impor. Sebagai contoh, Pemerintah mengklaim bahwa kebutuhan beras nasional tahun ini diperkirakan sebesar 33,5 juta ton sementara kemampuan produksi beras diperkirakan sebesar 37,8 juta ton sehingga masih surplus 4,3 juta ton. Kenyataan yang terjadi di lapangan sungguh berbeda yang menunjukkan ketergantungan terhadap impor, kurangnya stok Bulog, dan peningkatan subsidi raskin.

Ketidakpastian ekonomi dan alam sering kali menjadi alasan terjadinya krisis beras. Peningkatan harga beras dunia cenderung mengalami peningkatan apalagi dipicu oleh ulah para spekulan komoditi beras. Ketidakpastian alam seperti banjir, hama penyakit, dan perubakan iklim turut berkontribusi pada gangguan pasokan dunia. Negara produsen beras seperti Thailand, India, dan Vietnam cenderung menahan stok mereka akibat ketidakpasian alam ini. Sementara gangguan pasokan beras di dalam negeri terjadi akibat gagal panen dan terlambatnya masa tanam.

Ketiga, pertumbuhan kebutuhan beras tahunan tidak diimbangi dengan laju pembukaan sawah baru. Pemerintah hanya berkutat pada taraf menggiatkan produktivitas lahan melalui intensifikasi pertanian. Proses pengadaan sawah baru sangat lambat walaupun sudah ada janji BPN untuk memberikan 2 juta hektar lahan dan Kementrian Kehutanan untuk menyediakan 2,4 juta hektar untuk lahan pertanian. Peta jalan pertumbuhan lima persen per tahun untuk mencapai surplus 10 juta ton pada 2014 tidak akan tercapai tanpa adanya percepatan percetakan sawah baru.

Masalah keempat adalah sub-sistem yang terlibat dalam rantai pasok beras masih tersekat dan terpisah sehingga tidak jelas perbedaan antara produksi dan distribusi beras ekonomi (pro poor) dan beras segmen atas. Gerakan Peningkatan Produksi Pangan Berbasis Korporasi (GP3K) terbatas pada peningkatan produksi dari 5,2 ton GKG (Gabah Kering Giling) per hektar menjadi minimal 7 ton per hektar. Peningkatan produktivitas berhasil tetapi harga beras tidak terkendali karena adanya pedagang perantara atau bandar yang mengatur tingkat harga di pasar. Bulog biasanya kalah lincah dibandingkan dengan para bandar dalam menstabilkan harga karena lambatnya proses penyesuaian harga beli. Peningkatan harga beras kualitas medium bulan Oktober saja telah mencapai Rp 7.579 per kilogram yang semula pada pulan September masih Rp 7.474 per kilogram. Sesuai Inpres No. 7/2009, Bulog hanya berani membeli beras seharga Rp 5060 per kilogram dan menjual raskin sebesar Rp 1800 per kilogram. Kebijakan akses beras yang bernuansa pro poor melalui Bulog justru kurang berhasil melindungi rakyat berdaya beli rendah atau menghemat keuangan negara untuk subsidi.

Persoalan terakhir yang menjadi akar masalah adalah Pemerintah tidak mempunyai kendali dalam produksi beras sendiri. Kemandirian produksi beras dalam negeri diserahkan kepada kepada para petani. Kalaupun ada kekurangan, maka Pemerintah membuka keran impor. Pemerintah hanya berhasil mengatur gejolak harga dan ketersediaan pupuk, tetapi rantai pasok beras tidaklah lengkap kalau Pemerintah tidak berdaulat dalam mengatur produksi beras yang terjangkau bagi rakyat kurang mampu. Sementara dari sisi distribusi, Bulog hanya menguasai 8% stok beras nasional. Idealnya, Pemerintah setidaknya harus menguasai beras sebanyak 30%-40% dari kebutuhan nasional yakni sebesar 12 juta ton per tahun atau sekitar 1 juta ton beras per bulan.

Strategi Logistik Beras

Solusi berkelanjutan untuk menjaga sistem ketahanan pangan nasional harus dilakukan melalui upaya intensifikasi dan ekstensifikasi lahan pertanian dengan berlandaskan pola pikir logistik. Logistik beras adalah proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian aliran yang efisien dan efektif dan stok pangan beras serta informasi terkait mulai dari sarana produksi, budi daya, dan distribusi ke masyarakat. Tujuannya adalah pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat yang kurang mampu, petani sejahtera, subsidi minimal, tidak ada impor, dan tingkat inflasi yang rendah.

Kinerja rantai pasok beras tergantung pada kinerja keseluruhan rantai. Strategi logistik beras mencoba memadukan setiap rantai mulai dari budidaya, pengolah, dan distributor untuk menjamin ketersediaan, kualitas, dan kesinambungan secara efisien. Strategi pertama adalah kemandirian produksi dalam pemenuhan cadangan beras untuk sekitar 40 juta rakyat Indonesia yang tergolong marginal. Beras harapan rakyat marginal adalah harga beras sekitar Rp 4000 per kilogram yang tersedia dengan mudah di pasar-pasar tradisional di seluruh Indonesia dengan harga yang seragam sama halnya dengan harga BBM atau listrik. Pemerintah perlu menetapkan sejenis badan usaha beras sebagai operator produksi beras pada sentra produksi di pulau-pulau besar Nusantara dengan menggunakan mekanisasi pertanian modern untuk menekan harga pokok.

Strategi kemandirian produksi jangka pendek adalah substitusi impor sebesar 1,5 juta ton per tahun. Negara perlu menguasai dan melakukan investasi terhadap 250 ribu hektar sawah (1 hektar sawah menghasilkan 7 ton beras per tahun) yang dapat diperoleh dari revitalisasi lahan yang menganggur. Jika setiap 100 ribu hektar sawah diperkirakan memerlukan investasi pembukaan lahan dan irigasi sebesar Rp 2 triliun, peralatan (traktor, penyemprot, mesin panen, dan penggilingan) sebanyak Rp 1 triliun, dan biaya garap sebesar Rp 0,5 triliun, maka perkiraan kebutuhan dana untuk program substitusi impor beras mencapai Rp 8,75 triliun. Dana yang dapat diperoleh dari APBN tahun 2012 untuk mata anggaran ketahanan pangan sebesar Rp 41,9 triliun.

Strategi jangka menengah adalah percetakan 1,5 juta hektar sawah baru untuk mencapai surplus 10 juta ton beras. Strategi ini perlu dibarengi dengan percepatan pelepasan lahan untuk pertanian dan revisi rencana tata ruang wilayah (RTRW) oleh Pemerintah Provinsi untuk menjamin pengalokasian tersebut.

Strategi kedua adalah Pemerintah mengarahkan perusahaan negara untuk memproduksi benih dan pupuk untuk keperluan pertanian bagi rakyat. Ketiga, untuk meningkatkan kemandirian pangan pemerintah sebaiknya mengembalikan peran Bulog pada posisi semula untuk pemerataan distribusi pangan antar waktu dan antar wilayah dan peningkatan akses terhadap beras bermutu dengan harga murah. Beras yang dihasilkan oleh BUMN beras akan dapat diserap dengan mudah oleh Bulog karena harga belinya di bawah Harga Pembelian Pemerintah (HPP).

Strategi keempat adalah penguatan Badan Pertahanan Pangan yang berfungsi menjamin akurasi data, koordinasi hulu dan hilir, mengarahkan dan alokasi dana penelitian dan pengembangan, dan melakukan pengelolaan risiko. Kelima adalah pengalokasian dana inovasi teknologi untuk meningkatkan nilai tambah produk-produk turunan padi antara lain minyak bekatul (oryza graze), tepung beras, dan silika.

Hak memperoleh pangan adalah hak azasi manusia. Karena itu, RUU Pangan perlu memasukkan klausul yang menekankan ketahanan pangan melalui kemandirian produksi, pemberdayaan Bulog, pendirian badan ketahanan pangan, dan pemanfaatan inovasi. Penguatan ketahanan beras justru dilaksanakan dengan memanfaatkan semaksimal mungkin seluruh potensi sumber daya alam Nusantara dan sumber daya manusia Indonesia.

penerapan keilmuan logistik dapat dilakukan untuk menanggulagi masalah perberasan ini. Konsep awalnya dapat diunduh di: http://www.slideshare.net/togar/strategi-kemandirian-pangan-indonesia